-actually it was written on Saturday, Nov 21 2009- Minggu ini ada berita yang kembali membuat hati saya miris. Jauh lebih miris dari berita tentang penggunaan kosmetik pemutih palsu oleh seorang remaja putri usia 18 tahun sehingga membuat sebagian kulit remaja tersebut melepuh dan terbakar. Berita ini tentang Bu Minah. Seorang nenek berusia 55 tahun dari sebuah dusun kecil di kabupaten Banyumas, dengan tiga biji kakao-nya. Tiga biji kakao yang ia ambil dengan niat hanya untuk dijadikan bibit, telah membuat Bu Minah mendapatkan hukuman 1 bulan 15 hari penjara dengan 3 bulan masa percobaan.
Dua orang member di salah satu milis yang saya ikuti memberikan info tentang berapa sih total jumlah harga dari 3 biji kakao yang diambil Bu Minah? Seorang member memberikan angka Rp 2000 (tanpa menyebutkan apakah dua ribu rupiah untuk satu biji kakao ataukah untuk ketiga biji kakao). Seorang member lagi menuliskan harga Rp 30.000.
Berapakah harga 3 biji kakao tersebut, apakah Rp 2000 ataukah Rp 30.000, tapi yang pasti tiga biji kakao tersebut sanggup membuat Bu Minah menjadi terpidana. Ironis! Padahal Bu Minah sudah meminta maaf dan langsung mengembalikan 3 biji kakao-nya tersebut kepada si mandor kebun yang melihatnya mengambil kakao itu.
Beragam komentar tentang kasus ini bermunculan di beberapa milis yang saya ikuti. Wajar adanya. Ketika persoalan pengambilan 3 biji kakao seharga dua ribu rupiah ataukah tiga puluh ribu rupiah dan si nenek telah meminta maaf, namun masih juga diteruskan ke pengadilan pada akhirnya memang mampu membuat rasa keadilan dari siapapun yang melihatnya tergugah. Juga teriris. Terlebih di saat sekarang ini di mana begitu banyak kasus pengambilan uang rakyat (baca : korupsi) dengan nilai (baca juga : nominal uang) yang sebenarnya sangat jauh berlipat lipat, bahkan sama sekali sangat tidak sebanding dari sekedar harga 3 biji kakao yang diambil Bu Minah, seakan-akan sulit tertembus kekuatan hukum.
Sedih hati saya melihat bagaimana Bu Minah duduk di persidangan. Bagaimana Bu Minah meminta maaf kepada hakim tanpa didampingi pengacara. Bagaimana Bu Minah tetap memenuhi panggilan pengadilan meski jarak antara rumahnya dengan pengadilan lebih kurang 40 km dengan segala keterbatasan biayanya. Dan bagaimana Bu Minah diwawancarai oleh sebuah televisi swasta dan menjawabnya dalam bahasa Jawa ngapak (dialek Banyumasan) tentang kronologis pengambilan 3 biji kakao hingga dirinya mendapatkan putusan pengadilan.
Semoga satu hari nanti, keadilan benar-benar bisa tegak berdiri di tanah air tercinta ini. Untuk semua kalangan, tanpa pandang bulu. Amien.
0 comments:
Post a Comment