Sunday, January 31, 2010

Supporter Fanatik (Yang Bikin Pusing)


Last Saturday (30/1) was the worst 'malming' of mine. Ever! 

Gara-garanya : terjebak macet dari Pasar Jumat sampai Lebak Bulus hingga 2,5 jam. Padahal normalnya sih hanya sekitar 8 - 15 menit. Andaikan macet sepertinya juga nggak akan lebih dari 20 menit, I guessed :).

Awalnya saya pikir karena hujan, biasalah Jakarta kalau hujan pasti ujung-ujungnya macet. Ternyata bukan (hanya) itu penyebabnya. Ada supporter fanatik dari sebuah kesebelasan ibu kota yang memadati jalan raya. Bukan bonek, karena mereka adalah supporter di wilayah mereka sendiri. Namun cara mereka dalam memberikan dukungan kepada tim kebanggaannya tidak berbeda jauh dengan bonek, sama-sama merugikan orang lain. At least bagi saya dan sebagian orang yang tampak menggerutu.

Anak-anak usia remaja, diantaranya  terlihat seperti anak-anak usia SD (kecil-kecil bo:D), tumpah ruah di jalan sambil bernyanyi-nyanyi dan menggedor beberapa kaca kendaraan yang mereka anggap menghalangi laju kendaraan yang mereka tumpangi. Supporter-supporter yang lain terlihat duduk di atap angkot atau bis kota, juga sambil bernyanyi dan berjoget di tengah hujan yang cukup deras.

Setibanya di Lebak Bulus (itupun dengan berjalan kaki dari samping Points), barulah saya tahu penyebab kemacetan panjang itu. Banyak supporter yang menggunakan jalan raya sebagai tempat mereka berekspresi dalam mendukung kesebelasan favorit mereka. Pantas saja, bagaimana tidak macet total kalau untuk jalan saja sepeda motor pun tidak bisa :).

Melihat tingkah supporter-supporter itu, tiba-tiba saya jadi kepikiran dengan konsep tanggung jawab sosial perusahaan. Banyak perusahaan saat ini tengah giat melakukan beragam kegiatan sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaannya atau lazim disebut corporate social responsibility. Saya pikir tidak hanya perusahaan saja yang perlu melakukan tanggung jawab sosialnya, tapi tiap organisasi juga sebaiknya memiliki dan menerapkan konsep tanggung jawab sosial organisasi.

Tiap kesebelasan kan pasti memilki organisasi dan susunan kepengurusan. Selain bertujuan untuk menarik dan me-maintain loyal supporter, organisasi yang menaungi sebuah kesebelasan sepakbola seharusnya juga memberikan edukasi kepada para supporternya. Bagaimana cara memberikan dukungan kepada tim sepakbola kebanggaannya dengan tertib dan aman sehingga tidak mengganggu orang lain dan juga membahayakan dirinya sendiri. Ataupun seperti apakah bentuk dukungan yang dapat diberikan agar tidak menggunakan bahasa ataupun kata-kata yang dapat merendahkan tim kesebelasan lain (meski mendukung kesebelasan yang berbeda toh kita satu Indonesia juga kan?). Dan untuk menumbuhkan awareness mereka akan pentingnya melakukan semua hal itu.

Cara mereka mendukung kesebelasan favoritnya dengan memblokir jalan sehingga membuat kemacetan parah, apakah mereka pikir hal itu tidak mengganggu orang lain? Apakah orang lain yang terkena imbas –well let say a heavy traffic jam atau dagangan orang yang diambil tanpa bayar- kemudian akan bersimpati dengan mereka atau bahkan dengan kesebelasan yang mereka dukung?

Coba deh bayangkan, apabila diantara orang-orang yang terjebak kemacetan karena ulah supporter itu ada ibu yang akan melahirkan atau lansia yang harus segera di bawa ke rumah sakit?

Menurut saya edukasi sih diperlukan. Apalagi usia dari supporter-supporter yang kemarin saya lihat masih muda-muda, masih cukup mudah untuk memberikan pendidikan agar mereka bisa bersikap tertib. Mungkin tidak hanya melibatkan organisasi dari kesebelasan tersebut, tapi juga pemerintah yang menangani bidang ini. Kementrian Pemuda dan Olahraga misalnya, who knows?

Anyway, satu hal yang saya syukuri malam itu : nggak jadi naik taksi! Nggak kebayang de kalau sore itu saya naik taksi argonya jadi berapa :)

Wednesday, January 27, 2010

First Dream Destination to Visit

Sore ini saya chatting dengan Wahyu, seorang teman lama dari jaman SMU, via ym. Ternyata sekarang dia bekerja di sebuah perusahaan minyak dan ditempatkan di Palembang. 

Wahyu banyak bercerita tentang suasana kota tempat tinggalnya saat ini, jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan saya :)   

Nggak sengaja lihat juga status Mbak Dea, dulunya teman di kantor, di Facebook. Mbak De – begitu biasa saya memanggilnya – sedang di Palembang juga. 

‘Kotanya asyik’ begitu tulis Mbak De di statusnya. 

Entah kenapa, Palembang selalu menjadi propinsi pertama dari sekian propinsi di Indonesia yang ingin saya kunjungi. Segala sesuatu tentang Palembang selalu menarik perhatian saya. Dari Sungai Musi dengan jembatan Ampera-nya, makanan khas, kain songket, budaya, maupun adat istiadat masyarakat-nya.


Salah satu target saya, bisa berwisata ke provinsi di luar Jawa at least satu-dua kali dalam 1 tahun, dengan biaya sendiri. Insyaalloh I will start it in this year, and Palembang will be the first province to visit. 

Surely, I will be there one day :)

Tuesday, January 26, 2010

Bad Habit

Satu hari tadi saya mengikuti workshop tentang CSR yang diselenggarakan oleh Kementrian Sosial (dahulu Departemen Sosial). Ruang rapatnya cozy dan dingin. Tapi lama-lama terlalu dingin juga. I was cold. Too cold malah, dan baru mulai sedikit menghangat setelah secangkir teh panas dihidangkan.

Tapi, udara dingin plus teh panas is a very bad combination for me, at everytime. Indeed!


Udara dingin + teh panas = pengen bolak-balik ke kamar kecil!

Nggak peduli sedang di kantor sendiri, rumah, meeting, nonton, ataupun sekedar jalan-jalan bersama teman. Selalu saja ingin ke kamar kecil dan ke kamar kecil lagi.

Dan itulah yang seharusnya terjadi tadi. Seharusnya? Yup, untuk pertama kalinya saya bisa menahan diri untuk tidak bolak-balik ke toilet. Thanks to every speaker in the workshop who gave a very interesting CSR material and made me sit on my chair throughout the workshop :)

Setelah workshop kelar, hal pertama yang saya lakukan adalah : left the workshop room and went to the rest room! Hahahaha, teteup bo!

Sunday, January 24, 2010

Tentang Passion

If you lose your passion about your job. Don’t grumbling about it. Just find the new one.

-Mario Teguh- 

----------------------------------------------------------------------- 

Pernah nggak mikir apa sih sebenarnya yang membuat kita bisa bekerja dari jam 9 pagi hingga jam 5 sore, dari Senin hingga Jumat?

Apakah karena 'passion' ataukah sebuah tuntutan kehidupan semata?

Kehilangan passion dalam pekerjaan yang ujungnya menimbulkan rasa bosan memang bisa terjadi pada siapa saja. Untuk bidang pekerjaan apa saja. Kapan saja. Di mana saja.

Ada sebagian orang di sekeliling saya beitu bersemangat dalam menjalani pekerjaannya. Berangkat pagi, pulang malam. Namun ada juga sebagian yang nampak begitu apa adanya dengan pekerjaannya. Berangkat agak siangan, pulang agak pagian.

Dua-duanya pasti merasakan hal yang sama, capek. Bedanya, yang pertama capeknya lebih ke badan, sedangkan yang kedua capeknya lebih ke hati. Yang pertama capeknya karena mengerjakan semua hal dengan sepenuh hati, kalau yang kedua mengerjakan pekerjaan dengan setengah hati.

Kok tahu?

Sebelum saya jawab, saya mau lanjut cerita dulu.

Beberapa minggu lalu saya sempat chatting dengan teman saya, sebut saja si B. Lama tidak bertemu, ternyata saat ini B sedang mengambil program S2 di salah satu PTN di Jakarta. Saya pikir karena alasan sekolah inilah yang membuat teman saya itu keluar dari pekerjaannya. Ups, ternyata saya salah. Bosan, begitu alasan si B meninggalkan pekerjaannya dan melanjutkan sekolah.

Thek, membaca sebaris kalimat di ym tentang alasannya keluar dari pekerjaan membuat saya jadi melihat diri saya sendiri.

Pengalaman bekerja saya memang belum banyak, lha wong saya sendiri baru di wisuda di awal 2008. Karier profesional saya (haiyah bahasanye! :D), baru saya awali di tahun yang sama. Meski sebenarnya 1,5 tahun sebelum lulus kuliah, saya sambil nyambi bekerja di sebuah radio berita di Bandung. Bukan sebagai freelancer, tapi sebagai officer yang juga sudah memiliki pendapatan dan status yang tetap. Banyak lemburnya juga. Tapi ya itu, status mahasiswa membuat banyak orang mengganggap saya hanya ’main-main’ dan belum serius bekerja (walah, kalau main-main nggak mungkin saya terkadang harus bekerja dari pagi hingga malam :D).

Kalau ditotal sih saya baru 3,5 tahun bekerja. Kalau dihitungnya dari sejak lulus kuliah, saya baru akan 2 tahun bekerja. 

Dengan pengalaman kerja baru sekitar 3,5 tahun, sudah pantas belum ya kalau saya bilang saya bosan bekerja?

Kalau untuk bekerja sampai saat ini saya belum pernah merasa bosan. Namun saya pernah merasa bosan terhadap apa yang sedang saya kerjakan. Jenuh, stuck dan tanpa passion – sebuah rasa yang selalu berada di urutan pertama dalam tiap hal yang saya kerjakan-. Itu yang saya rasakan. Makanya saya jadi tahu bedanya bekerja dengan passion dan tanpa passion

Percaya deh, hasil bekerja dengan ’passion’ hasilnya akan sangat jauh berbeda jika dibanding dengan bekerja tanpa ’passion’.

Nah, kalau ’passion’ yang membuat kita bersemangat dalam bekerja itu menghilang, menurut saya hanya tinggal 2 pilihan. Find your passion about your job back, or do as Mr. Mario Teguh said :’just find the new one’ :). Dan itu sah-sah saja kok, everyone deserves for something better, right?

Saturday, January 23, 2010

Menjadi Pengusaha Muda


Tadi siang, sehabis meeting untuk persiapan charter night di Menara Prodia dengan rekan-rekan dari organisasi sosial yang saya ikuti, saya ke Pameran Wirausaha Mandiri yang diselenggarakan oleh salah satu Bank di JCC. Ada banyak profile wirausahawan muda, usia sekitar 22 – 32 tahun, dengan jenis usahanya yang beragam dan berbeda satu sama lain. Ada sih satu dua yang core usaha atau bahan bakunya sama, tapi dari segi produksinya tetap berbeda. Dan ini yang menarik.

Mereka masih begitu muda. Tapi sanggup membuat satu usaha milik mereka sendiri yang unik, belum pernah ada atau sudah ada tapi masih jarang, dan khas. Dengan modal awal yang rata-rata tidak terlalu besar (bahkan ada yang modal awalnya hanya Rp 70.000 saja!) namun mampu menghasilkan keuntungan yang jauh berlipat-lipat.

Ada yang menggunakan bahan baku pisang untuk dibuat menjadi beraneka ragam kudapan pisang hijau, ada yang bergerak di bidang laundry yang kini bisnis franchise-nya tersebar di seluruh Nusantara (laundry langganan saya juga :D). Ada juga yang berwirausaha dengan memanfaatkan singkong yang diolah menjadi berbagai macam camilan yang gurih dan renyah, pembuatan yoghurt, industry kreatif berupa pembuatan baju ataupun website, juga ada yang memanfaatkan kotoran hewan ternak untuk usahanya.

Benefit yang mereka terima?

Beberapa sudah menembus angka milyaran untuk bisnis yang baru berjalan antara 2 – 3 tahun. Yang lainnya rata-rata berkisar dari angka jutaan – hingga ratusan juta. Jumlah pegawai atau franchise-nya juga membuat kagum. Ada yang sudah punya 20 outlet di 3 kota ataupun 600 outlet di 2 negara.

Kegigihan mereka memang patut menjadi inspirasi. Meski profile yang dikedepankan pihak penyelenggara di pameran tersebut adalah gambaran kesuksesan mereka semata, tapi saya yakin mereka pasti pernah mengalami masa-masa sulit di awal usahanya sebelum mendapatkan hasil seperti sekarang.

Bukankah tak akan ada hasil jika tanpa usaha dan perjuangan?

Peluang usaha sebenarnya melintas di sekeliling kita setiap saat. Namun hanya yang benar-benar siap yang bisa melihat dan mengubah peluang menjadi satu kesempatan berharga.

So, have you seen that?

Tuesday, January 12, 2010

Brand New Spirit


Setelah sekian lama tidak menampakkan diri di tempat les TOEFL saya di Bandung, Sabtu lalu saya sempatkan untuk merefresh kemampuan TOEFL saya dengan les satu hari penuh di sana. Nggak sengaja saya ketemu Eva, salah satu teman akrab di tempat les.

Dia sedang sibuk mengurus dan mempersiapkan surat rekomendasi dari tempat les TOEFL untuk keperluan beasiswa ke Belanda. Sambil menyiapkan surat-surat yang dia butuhkan, Eva sekaligus menanyakan bagaimana dengan rencana saya untuk juga berburu beasiswa.

Sekitar 1,5 tahun lalu, topik yang paling sering kami bicarakan dengan sangat menggebu-nggebu adalah tentang beasiswa. Kemarin, Eva masih terlihat sangat bersemangat membicarakan masalah beasiswa. Sedangkan saya? Well, entah kenapa saya sekarang menjadi mudah ‘keder’ dengan segala persyaratan untuk meraih beasiswa.  

Bertemu Eva seakan membuka mata saya, bahwa saya (pernah) punya satu harapan dan cita-cita yang membuat saya menjadi begitu bersemangat dalam tiap hal yang saya lakukan. Membuat saya tidak gampang mengeluh dan selalu berusaha untuk selalu lebih baik lagi. Demi sebuah masa depan yang saya inginkan.

Ah, mungkin saya memang tidak se-fight dulu.

Pertemuan dengan Eva juga membuat semangat saya kembali, atau setidaknya mulai kembali. Bahwa asa itu akan tetap ada. Sepanjang kita mau berusaha dan mengusahakannya.

-----------------------------
Makasih ya Va. I learned something from you on our last meeting. You keep walking down on the right path! Actually, the dream is still mine, though I am not as fight as you on the way to pursue it :) Yes Va, the dream is still mine.

Sukses ya Bu, just send me a card after you arrive in Netherland :)

Thursday, January 7, 2010

(Masih) Seputar Undangan


Jodoh nggak akan lari kemana, tapi kalo nggak kemana-mana ya nggak akan jadi jodoh.

---------------------------------

Jodoh itu bukan hanya untuk ditunggu, yang tiba-tiba bisa jatuh dari langit dan mendarat di depan kita sembari bilang, ’akulah jodoh-mu’ (hahaha, ini versi Ria, salah satu teman saya di kos). Jodoh juga tidak bisa hanya diangan-angankan, diimpikan siang dan malam. Harus ada usaha. Perlu perjuangan (masih ingat dengan reality show pertama tentang perjuangan cinta? :D). Juga doa. Dan membutuhkan waktu. Untuk saling mengenal, menyayangi, memahami dan menghargai satu sama lain, serta membuat satu komitmen.

Jodoh itu nggak bisa ketebak. Kapan datangnya maupun di mana bertemunya.

Teman saya, sebut saja si A, berpacaran hingga 5 tahun dengan si B. Setelah itu mereka putus. Si A akhirnya bertemu dengan si C, berpacaran lebih kurang 6 bulan dan kemudian menikah awal tahun ini. Adalagi si D berpacaran dengan si E waktu SMU, kemudian putus karena kuliah di tempat yang berbeda. Si D kemudian pacaran dengan orang lain, begitu juga si E. Selang 4 tahun setelah putus, mereka balikan lagi hingga sekarang dan akan menikah pertengahan tahun ini. Ada juga dua orang kakak angkatan saya yang bertemu dengan suaminya saat KKN, padahal sebelum mengikuti KKN mereka telah berpacaran cukup serius dengan pacar terdahulunya masing-masing. Satu diantaranya bahkan akan segera bertunangan.

Oh ya, ada satu kisah lain tentang bagaimana bertemu dengan si ’jodoh’ dari seorang teman yang membuat saya benar-benar yakin bahwa jodoh itu di tangan Tuhan. Also it needs our efforts to make us be able to meet someone who named soulmate. Soon or slow but sure :D

Si Y, inisial teman saya, menempati posisi ke 6 dari seleksi akhir dalam program beasiswa untuk belajar ke negara tetangga yang ia ikuti. Padahal yang menerima beasiswa hanyalah 5 peringkat teratas. Beberapa minggu sebelum keberangkatan para peserta yang telah lolos seleksi beasiswa tersebut ke negara tujuan program beasiswa, ada satu orang dari ke lima peserta itu yang gagal berangkat karena satu dan lain hal. Satu kursi dari peserta itu kemudian diberikan untuk teman saya yang menempati peringkat ke 6. Singkat cerita, akhirnya teman saya berangkat ke sebuah negara tetangga untuk melanjutkan pendidikannya, dan selang 1 tahun sekembalinya dia ke Indonesia setelah menyelesaikan studinya, si Y kemudian menikah dengan teman kuliahnya yang ia kenal semasa belajar di negara tersebut.

Satu hal yang langsung melintas di pikiran saya waktu saya mendengar kabar pernikahannya, juga bagaimana cara ia bertemu dengan suaminya itu. Soulmate is about God’s secret. God has always a unique and unpredictable way to make us meet our soulmate. Jika teman saya itu tidak jadi berangkat untuk melanjutkan studi ke negara itu, would she meet her future husband?

So, yuk perbanyak jaringan pertemanan juga link networking kita. Siapa tahu dari sekian banyak teman atau orang yang kita temui dari aktivitas-aktivitas yang kita lakukan, kita bisa bertemu dengan our real soul-mate. Belum ada aturan tertulis juga kan kalau yang dekat dengan kita saat ini memang benar-benar jodoh kita, hohoho :D:D

Wednesday, January 6, 2010

Seputar Undangan


6 bulan – 1 tahun setelah lulus kuliah, pertanyaan yang paling sering terdengar adalah ‘sekarang kerja di mana’?. Lewat dari 1 tahun semenjak wisuda, pertanyaan berkembang menjadi ’kapan nikah?” :D:D

----------------------------------------------------------- 
Huff, hari ini mati lampu (lagi!). Untung batre laptop masih full. Buka ym. Eh ada si Ceceu, teman les bahasa Inggris saya dulu waktu kuliah di Bandung, sedang on line juga. Sekian lama tidak bertemu, langsung deh serentetan pertanyaan dan jawaban, juga pertanyaan balik ditambah beragam jenis smiley menghiasi ruang chatting ym kami. Namanya juga teman lama, banyak hal yang kita perbincangkan di sore itu. Salah satunya adalah masalah undangan (eits, bukan undangan meeting loh ya :D).

Ternyata si Ceceu sudah sangat bosan ditanya tentang masalah itu (haha, sama Bu :D).

Sejak sekitar 6 bulan lalu, setelah hampir 1 tahunan semenjak saya lulus kuliah dan dapat mulai menghidupi diri saya sendiri secara finansial, pertanyaan seputar undangan mulai berdatangan. Dari keluarga, rekan kerja maupun dari teman-teman (meski kalau dari teman-teman lebih banyak bercandanya daripada seriusnya :p).

Perbedaan cara berfikir, I have guessed it. Antara saya dan penanya. Mungkin bagi sebagian orang tua, ketika anak atau keponakan perempuannya telah lulus kuliah, memiliki pekerjaan tetap dan bisa hidup mandiri, apa lagi yang akan dicari selain pendamping hidup (halah, bahasa gw! :p). Sementara buat kita, bisa jadi pekerjaan saat ini hanyalah sebuah batu loncatan dan tempat belajar untuk kita mencari pekerjaan lain yang lebih baik lagi. Bagi sebagian orang tua, usia 23, 24 atau 25 tahun mungkin merupakan usia yang sudah matang untuk menikah, namun buat sebagian dari kita, justru di usia-usia itulah masa-masa kita giat bekerja dan menimba pengalaman.

Based on this different thinking, though I usually get bored to have this question, but I keep enjoying answering it and thinking that this is one attention from others to myself. Well I guess so :D

Semakin banyak orang yang bertanya, akan semakin banyak pula orang yang mendoakan, bukan ? :-)

Tuesday, January 5, 2010

Dan, Anak Itu Bernama Sinar

Do you still remember when you were a six-year-old girl? What did you do at the age of 6 then?

Di saat sebagian besar anak usia 6 tahun menghabiskan waktu untuk bersekolah, bermain, belajar ataupun les privat, ada seorang anak perempuan dengan usia yang sama memberikan hampir seluruh waktunya untuk mengurus dan merawat Ibunya yang lumpuh.

Anak itu bernama Sinar, seorang anak luar biasa dari Desa Riso, Kecamatan Tapango, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Tiap hari, anak kelas 1 SD ini merawat dan mengurus Ibunya yang lumpuh sejak 2 tahun lalu karena terjatuh. Sinar bahkan seringkali terlambat berangkat ke sekolah karena harus mengurus Ibunya terlebih dahulu. Begitu juga setelah pulang sekolah. Dalam tayangan salah satu teve swasta, perjalanan Sinar untuk menuju sekolahnya juga sangatlah tidak mudah. Tapi itu semua dilaluinya setiap hari.

Sinar, seorang anak usia 6 tahun, telah mengajarkan kepada banyak orang bagaimana seharusnya berbakti kepada orang tua kita, apapun kondisi dan keadaan mereka. Meski saya sendiri kurang yakin, apakah dengan usianya saat ini Sinar telah memahami arti berbakti itu sendiri. Namun tanpa perlu tahu artinya pun ia telah menunjukkan bagaimana harus berbakti kepada orang tua, terutama dengan sang Ibu.

Ia, seorang anak perempuan berusia 6 tahun bernama Sinar.