Sunday, August 7, 2011

Greeting - Intermezzo

Lama tak menulis sesuatu di blog ini, kangen euy.. Tapi jangankan menulis, membuka saja hampir tak pernah selama 3 bulan terakhir ini, hehe.. Bukan karena sibuk menggila sebenarnya, hanya beberapa waktu lalu saya lagi seneng-senengnya untuk mengupdate 2 blog saya yang lain: satu blog tentang jalan-jalan dan budaya,  satunya lagi blog tentang batik.
Gaya ya, jarang update tapi punya beberapa blog :D
Anyway, tak terasa Juni lalu genap setahun sudah saya bertugas di Kalimantan Timur. Ramadhan tahun ini menjadi Ramadhan kedua saya di sini. Hanya bedanya, kalau tahun lalu bisa dipastikan saya berlebaran di site di Kaltim, namun tahun ini bisa dipastikan jika saya akan berlebaran di rumah di Magelang J
Tahun lalu Ramadhan dari hari pertama hingga hari ke 30 saya lewatkan dari satu site ke site lain di tempat yang berbeda-beda, dengan orang-orang yang berbeda pula. Terkadang bersama dengan komunitas lokal atau juga dengan teman-teman site. Alhamdulillah, tahun ini ada beberapa hari di penghujung Ramadhan nanti yang bisa saya lewatkan bersama dengan teman-teman di Jakarta dan keluarga di Magelang.
Well, sebenarnya ada beberapa tulisan yang sudah siap untuk dipublish, tapi seperti halnya pertemanan, lama tak bertemu tentu rasanya aneh jika tanpa didahului say hi atau saling menanyakan kabar.
Begitu pula dengan blog ini, aneh saja rasanya lama tak memposting any writing tiba-tiba mak mbeduduk saya mengupload tulisan, hehe..
Anggaplah ini merupakan sebuah tulisan untuk menyapa siapapun yang kebetulan singgah di blog ini.
Oh ya, mumpung masih di awal bulan Ramadhan, ijinkan saya dengan segala kerendahan dan ketulusan hati mengucapkan Selamat Menunaikan Ibadah Puasa. Semoga Ramadhan tahun ini menjadikan kita pribadi yang bisa lebih bersyukur, lebih sabar, lebih ikhlas, dan lebih baik lagi.
Berhubung saya masih bertugas di Kaltim yang masuk waktu WITA, dan jam saat ini sudah menunjukkan pukul 17.00, saya siap-siap balik ke camp dulu ya..
Ok, see you on another post ya! J
Cheers.
Note. Btw, ini tulisan yang paling singkat yang pernah saya buat, hanya sekitar 2 menit, pas udah selesai nulis pas selesai juga tulisannya, hihi.. *maaf, note tak penting, bisa diacuhkan*

Sunday, February 20, 2011

Yuk Menulis

Sedang mengobrol masalah hobi dan investasi (nggak nyambung sebenarnya), seorang teman tiba-tiba bertanya:
Emang kenapa sih harus menulis?
Eh, iya juga ya, kenapa kita harus menulis?
Bagi mereka yang berprofesi sebagai wartawan atau blogger aktif, mungkin pertanyaan ini sudah tidak perlu lagi dijawab. Sehari saja tidak menulis mungkin ada yang terasa hilang dalam hidup :). Beberapa teman yang saya kenal bahkan memiliki 2 hingga 3 blog sekaligus sebagai media untuk menampung ide-ide maupun pemikirannya, dalam bentuk tulisan tentunya.
Akhir-akhir ini, saya beberapa kali bertemu dengan orang-orang yang baik dari profesi maupun latar belakang pendidikan nggak ada hubungannya sama sekali dengan menulis. Mereka bercerita jika memiliki keinginan untuk menulis, namun belum juga mulai menulis. Rata-rata alasan yang dikemukakan antara lain bingung harus memulai menulis dari mana (kalau saya malah biasanya bingung cari ending tulisannya, hehe :p).
Nah, kalau untuk teman-teman yang punya blog dan sering nggak update (seperti saya juga, hoho :p), alasan standar yang paling sering diberikan antara belum ada mood untuk menulis atau nggak ada waktu.
Masalah waktu memang menjadi dalih paling populer untuk membuat orang belum mau menulis. Padahal waktu sebenarnya bukanlah penghalang bagi seseorang untuk terus menulis. Pernah nggak Anda bertemu dengan orang yang sangat sibuk dengan pekerjaannya, namun masih bisa menjadi seorang kontributor untuk sebuah harian nasional atau freelance writer untuk beberapa content blog? Saya pernah, beberapa kali malah. Dan itu yang menginspirasi saya untuk terus menulis.
Karena sebetulnya, menurut saya, tidak ada alasan untuk tidak menulis.
Coba deh lihat pekerjaan kita. Sesedikit apapun frekuensinya, kita pasti membutuhkan keahlian menulis. Entah menulis memo untuk atasan kita, mengirimkan email ataupun membuat surat untuk pihak luar. Menulis merupakan salah satu skill yang akan selalu dibutuhkan dalam berbagai aspek kehidupan.
Nah, kembali ke pertanyaan awal. Kenapa sih harus menulis?
Berangkat dari hobby suka menulis diary sejak jaman saya SD, menulis sudah menjadi kegiatan yang tak terpisahkan dari apapun yang saya lakukan. Dan kenapa saya masih suka dan terus menulis, meskipun kadang tulisannya nggak penting, setidaknya karena 4 alasan :
Pertama, menulis membuat saya tetap berpikir kritis dan terus belajar. Dengan menulis, saya dibiasakan untuk terus berpikir, banyak membaca dan juga aktif mencari materi-materi yang berhubungan dengan isi tulisan saya (biasanya kalau yang ini untuk blog batik saya, hehe). Keuntungannya, wawasan saya akan terus bertambah.
Kedua, dengan semakin sering menulis secara tidak langsung akan mengasah skill menulis saya. ’Alah bisa karena biasa’. Begitu juga dengan menulis. Menulis melatih saya untuk bisa menyusun dan mengurutkan ide, gagasan atau pemikiran saya secara jelas dalam rangkaian kata-kata yang enak dibaca.
Ketiga, menulis menimbulkan rasa percaya diri dan keberanian saya, karena tulisan yang saya buat kemungkinan akan dibaca orang lain. Dengan menulis juga, saya dilatih untuk berani menerima setiap kritik atau masukan untuk tulisan yang saya buat.
Keempat, menulis membantu saya untuk menyimpan banyak hal yang telah saya lakukan selama ini. Banyak hal dalam hidup yang terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja tanpa didokumentasikan, salah satunya dalam bentuk tulisan.
Saya pernah tertawa sendiri dan tersipu malu (:p) saat membaca tulisan-tulisan dalam blog yang saya buat sekitar 2 – 3 tahun lalu.  Menyenangkan memang, mengingat hal-hal yang kita tulis beberapa waktu lalu sembari melihat peningkatan gaya bahasa kita.
Peningkatan gaya bahasa?
Sok deh dicek, email resmi yang kita kirim 3 tahun lalu dengan hari ini pasti akan terlihat bedanya. Saya kerap malu sendiri saat membaca ulang email-email formal yang saya kirim entah untuk atasan atau pihak luar di bulan-bulan pertama saya bekerja sekitar 4 tahun lalu. Sungguh 'acakadut' :D
Seperti halnya pisau yang semakin sering diasah akan semakin tajam, demikian juga halnya dengan menulis. Semakin sering seseorang menulis, semakin dia akan pintar dalam memilih dan mengolah kata.
Hanya, meski memang harus dibiasakan terus menulis, terkadang saya menulis ketika memang benar-benar sedang ingin menulis saja (jangan ditiru ya :D). Karena bagi saya, terlepas dari empat alasan tadi, menulis sebenarnya adalah a way to escape from reality, cara agar saya bisa melupakan kejenuhan atau kebosanan yang saya rasakan, walaupun sebentar.

Dan tulisan dari hati yang sedang mood dengan tulisan untuk mencapai target, have to say this, hasilnya memang berbeda, dan ujung-ujungnya saya sering lama tidak menulis karena sering menuruti hal ini :).

Saturday, February 19, 2011

Living in a remote area

Living in a remote area is not as bad as many people may think J
Remote area, atau jika dalam Bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai wilayah terpencil, sebuah kata yang akrab di telinga saya sejak beberapa bulan terakhir, sejak bergabung dengan perusahaan tempat saya bekerja saat ini yang bergerak di bidang mining construction. Dan selama bertugas di site di Kalimantan Timur, saya memang lebih banyak tinggal di remote area.
Sesuai dengan namanya, remote area memang merupakan sebuah daerah terpencil, pelosok atau bahkan di tengah hutan.
Hutan?
Iya, hutan. Hutan asli, beneran, nggak bohong.
Entah sudah berapa kali saya mendapatkan pertanyaan dari teman-teman saya tentang bagaimana rasanya hidup di hutan.
Nah, kalau berat atau tidaknya, saya kok percaya jika hal ini tergantung dari bagaimana cara kita melihatnya. Seringan apapun suatu keadaan, jika kita melihatnya sebagai suatu yang berat, pasti juga akan terasa berat jadinya.
Sama halnya dengan bagaimana rasanya hidup di remote area.
Kalau mau dipandang berat à di tengah hutan, sebentar panas sebentar hujan, kadang ada sinyal kadang ilang, nggak bisa jajan bakso, jauh dari atm apalagi mall, dan pasti masih ada sederet keluhan lain.
Tapi kalau mau dipandang ringan à Pagi bisa liat sunrise, tiap hari bisa liat pemandangan hutan yang masih ijo, bebas macet, udara masih seger, dan bisa lihat sunset yang cantik hampir tiap sore.
Banyak kejadian lucu, unik, tidak biasa, aneh, rada menyeramkan, merupakan pengalaman pertama, berkesan,  yang sering saya sebut sebagai pelajaran untuk mengkayakan hidup, yang saya dapat selama tinggal di remote area.
Sebagai contoh, pernah selama beberapa minggu, jaringan telp di site tempat saya tinggal mengalami kerusakan. Untuk bisa menelpon ke luar area site, handphone harus diletakkan di pinggir-pinggir jendela agar bisa menangkap sinyal. Makanya selama beberapa waktu, pemandangan handphone digeletakkan di pinggir jendela kantor maupun jendela mess menjadi suatu hal yang biasa. BBM jelas mati total saat itu, lha wong sinyal untuk telpon saja tidak ada :D. Jika handphone bergeser sedikit saja, sinyal juga akan ikut menghilang, sehingga masing-masing handphone biasanya sudah punya spot sendiri-sendiri yang tidak boleh dipindahkan tanpa seijin si empunya handphone.
Jasa sewa signal akibat sinyalnya hanya ngendon di satu tempat :p
Coba, mana bisa saya merasakan hal seperti itu kalau Jakarta? :p
Sama halnya ketika saya sangat menikmati pemandangan hutan hijau yang cantik di depan salah satu site perusahaan saya di wilayah Sanga-Sanga, Kutai Kartanegara. Terasa sekali hutannya, dan justru itu yang menyenangkan.
Pemandangan di depan mess, cantik kan :)
Ketika tinggal di Jakarta, TV dan HP seolah menjadi menjadi benda wajib buat saya. Namun di sini, saya bisa melewatkan banyak hari tanpa TV, dan terkadang juga BB. Karena di sini saya bisa mengobrol dan bercanda hangat dengan teman-teman baru, beberapa diantaranya malahan sudah akrab, secara langsung, face to face. Tidak melalui twitter, bbm ataupun ym. Dan ini mengingatkan saya dengan kebersamaan yang saya rasakan dengan teman-teman waktu kuliah dulu, saat sesi curhat hingga larut hampir tiap malam.
Banyak teman yang heran kenapa saya betah tinggal di site, beberapa malah bilang aneh :p. Saya memang menikmati tinggal di remote area karena banyak hal baru yang saya temui di sini, hal-hal yang mengkayakan hati, memperluas ilmu sekaligus juga menggembleng mental saya (nah, kalau 2 hal yang terakhir nanti saya ceritakan di lain cerita :D), dan tentunya tidak didapat semua orang.

Selain itu, mau saya menikmati atau tidak tinggal di remote area, toh saya memang harus tinggal di sini selama 6 minggu. Daripada saya ngedumel terus selama di sini dan justru akan membuat waktu 6 minggu terasa seperti 7 bulan (haiyah, lebay :p), mencoba untuk menikmati apapun selama tinggal di sini termasuk dengan segala keterbatasannya justru malah membuat waktu 6 minggu terasa begitu cepat.  
Saya tahu, tidak selamanya saya akan bekerja di remote area seperti ini. Ada masa nanti saya harus kembali bekerja di Jakarta dan duduk di belakang meja. Dan saat tiba di masa itu, saya tidak ingin menyesal kenapa tidak mempergunakan kesempatan tinggal di remote area dengan baik.

Trust me, living in a remote area is really not as bad as many people may think J

Friday, January 28, 2011

Lahar Dingin dan Merapi

Gunung Merapi itu seperti penggambaran orang Jawa. Mau meletus, tidak langsung meletus namun batuk-batuk dulu, untuk memberikan pertanda.
-ucapan salah satu dosen saya suatu hari di tahun 2006-
---------------------------------------------
Saat saya menulis ini, saya tengah berada di salah satu site perusahaan di wilayah Separi, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara, sekitar 1.5 jam dari Samarinda menggunakan transportasi darat. Terpisah ribuan km dari rumah saya di Magelang sana. Dan, sedang menonton tayangan berita tentang robohnya sebuah jembatan di Magelang akibat diterjang lahar dingin.
Secara regular, tiap 6 minggu bekerja di site saya mendapatkan libur 2 minggu penuh, yang biasa disebut dengan masa cuti atau R&R (rest and recreation). Meski hanya beberapa hari, tiap masa cuti selalu saya sempatkan untuk pulang ke rumah.
Saat cuti saya di pertengahan Oktober 2010 lalu, keadaan di Magelang dan Yogya masih baik-baik saja. Mungkin saja sebenarnya saat itu Merapi sudah mulai menampakkan adanya gejala atau tanda - tanda meletus. Mungkin, bisa jadi. Namun belum ada pemberitaan mengarah ke hal itu.
Hingga saat saya sudah berada di site, pemberitaan mengenai Merapi mulai menghangat sejak sekitar tanggal 20-an di bulan Oktober 2010.  Saat itu saya masih yakin jika Merapi masih akan baik - baik saja. Andaikata pun meletus, dampak letusannya kemungkinan tidak akan terlalu besar. Seperti yang pernah terjadi di tahun 2006 lalu, saat Merapi diprediksi akan meletus namun ternyata justru gempa hebat yang terjadi di Yogya.
Namun dugaan saya ternyata salah besar. Tepat sehari sebelum ulang tahun saya, kuncen Gunung Merapi Mbah Maridjan diberitakan telah meninggal dunia akibat terkena lahar panas atau biasa disebut wedhus gembel.
Innalilahi wa inna ilaihi rojiun.
Perasaan saya sudah mulai tak enak. Apalagi pemberitaan-pemberitaan di hari-hari sesudahnya, menunjukkan jika aktivitas Merapi terus meningkat. Keluarga maupun beberapa sahabat lama yang saya hubungi untuk terus mendapatkan berita terbaru tentang Merapi, tak seperti biasanya, kali ini begitu terus terang dengan kekhawatiran mereka tentang Merapi. Merapi memang belum pernah seperti ini sebelumnya.
Jujur, minggu keempat bulan Oktober hingga minggu kedua bulan November 2010 merupakan periode yang terberat bagi saya. Saya bekerja jauh dari keluarga, kampung halaman saya tiap hari muncul di hampir semua media, dan saya sempat selama beberapa hari tidak bisa berkomunikasi dengan keluarga saya.
Saya selalu berusaha untuk tetap tersenyum dan menjawab baik-baik saja tiap ditanya bagaimana keadaan rumah, meski saya hampir selalu menangis saat melihat tayangan mengenai betapa lumpuhnya kota tempat tinggal saya, terjangan wedhus gembel di daerah Pakem hingga Cangkringan, proses evakuasi warga ataupun kondisi di pengungsian, juga tiap membaca sms dari ayah saya yang kantornya di wilayah Sleman terpaksa diliburkan selama beberapa hari akibat Merapi. Dan, selalu menangis dalam doa yang saya panjatkan usai sholat.
Saya juga sedih, takut dan khawatir dengan keadaan rumah saya, apalagi sejak jarak aman Merapi diperluas menjadi 20 km, jarak aman terjauh untuk letusan Merapi yang pernah ada selama ini. Sementara rumah saya berada dalam jarak 30an km.
Tapi apa saya lantas harus menuliskan perasaan saya setiap saat dalam akun facebook atau twitter atau juga status bbm saya agar semua orang bisa tahu saya bersedih? Apakah saya mesti memasang tampang sedih terus menerus dan mengeluhkan bencana Merapi pada semua orang yang saya temui agar orang bersimpati pada perasaan saya?
Tak ada yang bisa saya lakukan selain berdoa dan terus berdoa. Jika ingin menuruti hati, betapa ingin saya pulang dan berada di tengah keluarga saya saat bencana itu terjadi. Namun ada tanggung jawab yang saya emban, yang membuat saya tidak bisa begitu saja pulang ke rumah.
Balik lagi ke banjir lahar dingin yang beritanya masih terus menghiasi tayangan berita di TV hingga sekarang. Rasa khawatir masih ada, namun hati saya terasa lebih tenang saat ini. Mungkin karena saat cuti di pertengahan medio Desember 2010 lalu saya sempat pulang ke rumah sehingga bisa melihat langsung bagaimana keadaan kota saya pasca bencana, sekaligus merasakan optimisme dari masyarakat untuk kembali beraktivitas seperti sedia kala.

Lahar dingin mungkin masih akan terus mengalir hingga beberapa waktu ke depan sebagaimana prediksi dari beberapa pihak terkait, namun setidaknya saya sudah pulang dan melihat bahwa kondisi kota saya mulai kembali normal. Hal itu sudah cukup membantu saya untuk bisa tenang selama berada di sini.

Thursday, January 27, 2011

Simply Tell Myself: Keep on Writing

Iseng-iseng buka blog di pagi buta..
Whaa.. Tahun sudah berganti, bulan Januari sebentar lagi lewat, tapi blog saya masih gini-gini aja (belum ada tulisan baru lagi yang diposting), hoho :D
Saya selalu menempatkan ‘menulis’ dalam deretan teratas untuk hal-hal yang paling saya sukai, selain membaca dan berenang tentunya. Seolah-olah since about the time I could hold pencil, I have been in love with writing.
Tapi, blog ini, pagi ini, memaksa saya untuk menanyakan pada diri saya sendiri: Do I love writing?
Banyak teman memiliki blog dan masih terus nge-blog meski pekerjaan menggunung. Bahkan, ada teman yang dulunya seringkali mengeluhkan betapa susahnya merangkai kata dan menuliskannya dalam sebuah paragraph pun, ternyata sekarang malah aktif ngeblog.
Sudah segunung-kah pekerjaan saya saat ini hingga tidak ada waktu sama sekali untuk menulis?
Sedemikian capeknya kah saya hingga untuk sekedar menulis pun tidak bisa?
Apakah tidak ada hal yang bisa menginspirasi saya untuk menulis, tentang apapun?
Pertanyaan-pertanyaan yang mendadak muncul dalam pikiran saya, yang sebenarnya bisa juga untuk menjawab pertanyaan si Mr. Facebook: what's on your mind? :D
 Ngomong ki gampang, nglakonine kuwi sing angel
Mengutip perkataan seorang teman. Entah kenapa, saat saya membuka blog ini, ucapan tersebut tiba-tiba terngiang dalam pikiran.
Mengucapkan sesuatu memang mudah, sangat mudah malah. Namun ternyata tidak semudah itu untuk melakukannya, meski kita menyukai sesuatu itu.
Seperti saya dan menulis. Saya mendapat inspirasi setiap hari, dari semua yang ada di sekitar saya, berita yang saya lihat di TV, lingkungan tempat saya tinggal dan bekerja saat ini, tempat-tempat wisata menarik yang saya kunjungi, teman, keluarga, or the one that I love. I am inspired by anything I have seen in this life. Untaian kata-kata secara otomatis sering terangkai dalam pikiran saya ketika menyaksikan semua itu, namun, saya justru lebih sering membiarkan kata-kata itu hilang dengan sendirinya tanpa sempat saya tulis, entah dengan alasan capek, mengantuk atau tidak mood. Beragam alasan yang sebenarnya tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak menulis.
Seharusnya, saat malam hari, saya hanya perlu menyisihkan waktu tak lebih dari 30 – 40 menit untuk duduk, menyalakan laptop, and start writing anyway. Even though I have no idea to write, even though I won’t to write or even though I am in a bad mood. Meski mungkin apa yang saya tulis juga sesuatu yang tak lebih dari satu lembar or even it’s just a silly written.
One thing that I need to do is just writing. Hanya menulis, dan menulis.
I have been definitely in love with writing, until now, tapi sepertinya akan meragukan jika saya bilang I love writing but without writing anything.
So I just need to simply tell myself: keep on writing, Mira.
------------
Hasil pencerahan di pagi hari nan dingin :p