Saturday, December 26, 2009

A Three-Year Old Girl with Her Unexpected Anger


Sewaktu menemani Dewi, teman baik saya sejak SMU, mencari-cari jam tangan di Blok M Square kemarin Jumat (25/12), ada pemandangan ‘menggelitik’ di depan saya.

Ada seorang ibu dan 2 anak perempuannya yang masih kecil-kecil, sekitar usia 5 dan 3 tahunan. Ibu itu asyik memilih-milih jam tangan, sementara anak-anaknya asyik berantem. Berantem? Yup, dari mulai berebutan permen, air minum, melihat jam di etalase toko, hingga berantem karena berebut cermin dan tempat duduk. Dari ke dua anak perempuan itu, terlihat jelas jika si adik yang begitu mendominasi dan jauh lebih pemarah (aduh dik masih kecil jangan suka marah-marah, nanti cepat tua loh :D).

Puncaknya, ketika kakak beradik itu saling berebut tempat duduk hingga membuat si adik jatuh dan kepalanya membentur meja etalase jam toko. Saya pikir anak itu cuma akan menangis atau mengadu ke Ibunya, ternyata apa yang dilakukan oleh anak itu untuk melampiaskan kekesalannya sungguh di luar dugaan saya.

Anak itu, sembari berkacak pinggang, marah-marah pada kakaknya dengan gaya bicaranya yang masih terpatah-patah namun terdengar jelas. Dari mulai mengatakan ‘lo anak setan’, ‘anak tuyul’, ‘gue nggak mau jadi adik lo lagi’, ‘dasar bego lo’, dan masih banyak lagi makian lain yang diucapkan anak perempuan berumur sekitar 3 tahunan itu untuk kakaknya.

Tidak hanya saya yang terkesima mendengar kata-kata anak itu, tapi juga Dewi, mas-mas pemilik toko jam, hingga beberapa orang yang kebetulan lewat. Anak itu begitu fasih memaki-maki kakaknya yang hanya terdiam mendengar ucapan si adik. Akan halnya Ibu mereka, hanya berkomentar pendek, “Adik jangan nakal ya, besok kalau Mama jalan-jalan adik di rumah saja sama Bibik,” sambil tetap memilih beberapa jam tangan dan mencobanya.

Setelah Dewi selesai dengan urusan pembelian jam-nya, kami segera meninggalkan toko tersebut sembari membicarakan tingkah anak itu. Ternyata Dewi pun juga merasakan kekagetan yang sama, meski dia tetap sibuk dengan pilihan jam-jam yang ingin dibelinya :D.

Saya masih tidak habis pikir, bagaimana dan darimana anak seusia itu bisa mendapatkan kata-kata yang diucapkannya. Saya juga tidak mengerti dengan reaksi dan sikap Ibu dari anak itu, yang bagi saya terlalu datar untuk merespon kata-kata yang belum pantas dari anaknya.

Saya tidak bermaksud menyalahkan anak tersebut. Untuk anak seusia dia bisa berkata-kata seperti itu tentunya karena dia mendengar dari sumber lain. Saya juga tidak ingin menyalahkan Ibunya, karena tiap Ibu pasti memiliki cara sendiri untuk mendidik anak-anaknya.

Saya cuma kaget saja, baru pertama kali inilah saya melihat dan mendengar ada anak kecil bisa begitu lancar menguraikan kemarahannya dengan kata-kata seperti itu. Ataukah sebenarnya hal ini merupakan sebuah hal yang biasa saja saat ini, dan saya lah yang ketinggalan jaman sehingga baru melihat hal seperti ini sekarang?   

Sunday, December 20, 2009

A Touching Moment


Sore ini, sewaktu mau turun dari bis sepulang dari ber-weekend di Bandung, ada pemandangan tidak biasa di depan saya. Awalnya saya heran plus agak kesel, kok ibu di depan saya cuma berdiri saja di depan bangku penumpang dan tidak segera turun sehingga menahan orang-orang dibelakangnya untuk turun. Agak lama, sekitar 3 menitan lebih (3 menit lumayan lama lho buat orang yang sudah capek, ngantuk dan ingin cepat-cepat turun dari bis :D).

Ternyata si Ibu tersebut menunggu suaminya yang sudah menunggu di shelter bis untuk naik dulu ke dalam bis dan menggendong putra mereka. Waktu saya lihat si Bapak - suami ibu tersebut- mengangkat putranya, barulah saya menyadari apa yang membuat si Ibu berdiri di dalam bus dan tidak turun-turun.

Ibu itu membawa 1 buah tas yang besar dan berat (terlihat dari isinya yang penuh dengan pakaian dan perlengkapan bayi). Sedangkan putra mereka, seorang anak laki-laki berusia sekitar 4 tahunan, (sepertinya) memiliki kekurangan fisik. Tubuhnya begitu kurus dan lunglai saat digendong ayahnya. Wajahnya sama sekali tak menunjukkan reaksi apapun layaknya anak usia tersebut.

Saya turun dari bis persis di belakang mereka. Waktu mereka menuju mobilnya yang diparkir di depan shelter bis, saya melihat si Bapak terus menciumi pipi dan kening anaknya. Sang ibu berjalan di belakangnya sambil mengangkat tas dan sesekali membelai kepala anaknya.

Begitu sampai di mobil, mereka terlihat bahu membahu agar putranya bisa masuk ke dalam mobil. Ibu itu menaruh tasnya, kemudian membukakan pintu untuk si Bapak yang lantas berusaha memasukkan putranya ke dalam jok mobil. Begitu si anak ada didalam mobil, entah duduk atau berbaring saya kurang tahu pasti, bapak dan ibu itu terlihat masih mengajak bercanda dan melempar senyum ke anaknya sebelum menutup pintu dan mereka sendiri juga masuk ke dalam mobil.

Duh, tersentuh saya melihatnya. Betapa tiap orang tua mempunyai kasih sayang yang begitu luas untuk anaknya, tak peduli bagaimanapun kondisi anaknya.

By seeing that touching moment, tiba-tiba saya jadi teramat kangen dengan ke dua orang tua saya.

Thursday, December 17, 2009

Pernik Perempuan

Hari ini salah seorang rekan kerja yang baru menikah bercerita ke saya : 

Istri saya waktu saya bilang gendut jadi marah – marah gitu Mbak... 

Ya iyalah, umumnya perempuan pasti akan gondok atau at least menjadi tidak ’pede’ kalau kekurangan dalam diri ataupun penampilannya dikritik oleh pasangannya.  

Ada satu cerita lagi dari teman saya yang membuat saya terpana, untuk selanjutnya tertawa loudly :D 

Pacar gw lagi ngambek Mir. Kemarin dia abis dari salon, gw tanya ’kamu mau ngelenong di mana dandan kayak gitu?’. Eh ngambek dia. 

Halah, tambah parah! 

Bagi sebagian perempuan, fisik dan penampilan terkadang menjadi masalah yang begitu sensitif. Bad hair yang bisa membuat mood kacau seharian, dibilang orang kegendutan membuat  nafsu makan jadi hilang ataupun masalah jerawat yang bisa menghilangkan rasa pede untuk ketemu banyak orang (hoho, pengalaman pribadi ini mah :D). Juga beragam masalah khas perempuan lainnya lagi yang mungkin bukan menjadi masalah buat para pria. 

Nah, this is the point. Karena pria dan perempuan memang berbeda. Apa yang tampak begitu ribet untuk perempuan, terkadang bisa jadi begitu simpel untuk pria.  

Makanya hampir tiap perempuan mempunyai peralatan make-up untuk mempercantik diri. Makanya salon, klinik maupun dokter kecantikan banyak didatangi banyak perempuan untuk merawat diri. Makanya juga banyak tips-tips bagaimana cara menutupi kelemahan dari penampilan perempuan, biar yang gendut tidak kelihatan gendut atau justru yang kurus bisa kelihatan lebih berisi. 

Semua itu ada dan dilakukan karena pada dasarnya hampir tiap perempuan ingin tampil cantik. Ingin dilihat cantik. Setidaknya di depan pasangan sendiri. 

Karena itulah, yuk ah mari hargai pasangan kita masing-masing. Kalau memang pasangan kita gendut, mbok ya kalau mau bilang dia gendut jangan terlalu to the point. Kan bisa sambil bercanda atau menggunakan kata lain selain gendut, berisi mungkin :-). Nggak ada salahnya juga untuk memberikan pujian ketika pasangan kita berdandan lain dari biasanya, entah berdandan untuk sekedar bertemu kita atau untuk pergi dengan kita. 

Jika ada sesuatu hal yang salah dengan penampilan si dia hari itu, tunggulah sejenak sebelum menyampaikannya ke yang bersangkutan (jangan langsung bilang di tempat pas pertama ketemu, gituh maksudnya :p), agar pasangan pun bisa menerima dengan baik. Biar besok dia nggak berpenampilan seperti itu lagi. Biar nggak ada acara ngambek-ngambekan juga :D

Well, itulah sedikit pernik perempuan, penuh warna :D. 


Sunday, December 13, 2009

Weekend Intermezzo


Ada sebuah intermezzo menarik di salah satu televisi swasta pagi ini. Tentang penggunaan uang 6,7 triliun.

Dalam tayangan intermezzo tersebut, uang sebesar 6,7 triliun diasumsikan bisa digunakan untuk membiayai lebih dari :

-       150 ribu mahasiswa untuk menjadi dokter
-       500 ribu siswa sekolah
-       190 ribu orang untuk menunaikan ibadah haji

Atau membeli lebih dari :

-     700 megawatt listrik supaya listrik nggak padam-padam lagi
-     900 juta kilogram beras
-     134 ribu rumah sederhana
-     26 milyar kerupuk (wowow :D)

Atau juga untuk memberi :

-     35 juta orang uang senilai Rp 191.429 rupiah
-     250 juta orang uang senilai Rp 26.800 rupiah

Sehabis melihat tayangan itu, melintas juga sebuah intermezzo dalam pikiran saya. Jika koin untuk mendukung Bu Prita Mulyasari (bravo Bu Prita!) senilai Rp 151 juta saja jika ditimbang beratnya sudah mencapai lebih dari 6 ton, kira-kira akan seberat apa ya kalau uang 6,7 triliun tersebut dikoin-kan? :-)

Dan jika seluruh koin senilai 6,7 triliun itu disebar ke seluruh Indonesia, wah hujan uang pasti akan terjadi di mana-mana :D.

Saturday, December 12, 2009

Magnet Jogja

-it was actually written on Nov, 28th 2009-

Jogja itu bermagnet. Selalu menarik setiap orang yang pernah tinggal di sana untuk kembali, meskipun hanya sekedar ‘tuk singgah sejenak.

-------------------------------------------------------

Setelah beberapa kali hanya numpang lewat di Yogya tiap pulang ke rumah, akhirnya bisa juga saya jalan-jalan sampai puas di Yogya. Seharian, dari pagi sampai menjelang maghrib. Tapi setengah harinya habis untuk jalan-jalan di Malioboro dan berburu batik di Bringharjo (hahaha, teteup!), habis murah sih :-).

Yogya kini banyak berubah. Beberapa ruas jalan yang dulunya masih berupa jalan kecil kini sudah diperbesar, bahkan ada yang dijadikan perempatan lengkap dengan bangjo-nya (sebutan untuk traffic light, kependekan dari abang – ijo dalam bahasa Jawa :D). Perubahan tersebut mungkin karena semakin membludag-nya jumlah pengguna sepeda motor di Yogya, I guess.

Jumlah ruko-nya semakin banyak. FO, butik, rental film, ataupun warnet sepertinya kian menjamur. Di sepanjang jalan Malioboro sekarang juga dipenuhi dengan beragam graffiti yang menarik.




Or for closer :



Oh ya, ada lagi. Sekarang Yogya punya Trans Yogya. Seperti Bus Way kalau di Jakarta, tapi ukurannya lebih kecil. Jumlah armadanya mungkin belum sebanyak Bus Way, namun sistem Trans Jogja lebih kurang sama dengan Bus Way. Tapi saya lupa euy harga tiketnya berapa, hehe :). Pas jalan-jalan di Malioboro, iseng saya foto salah satu bus Trans Jogja yang sedang berhenti, persis di depan shelternya. Take a look.
 


Banyak yang berubah dari Yogya, tapi banyak juga yang tidak (atau belum?) berubah. Harga makanannya masih standar mahasiswa alias murah meriah tapi uenak. Panasnya belum berkurang (meski tidak sepanas cuaca di kota tempat tinggal saya sekarang :D). Pengendara sepeda onthel juga masih bisa dilihat di jalan raya. Suasananya yang khas sebagai kota budaya dan pendidikan masih sangat terasa.  Di banyak tempat di Yogya, terutama di daerah sekitar Boulevard UGM, Jl. Kaliurang, Condong Catur, ataupun Seturan, selalu saja saya bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa yang masih begitu muda :p. Dari beragam suku dan budaya, pas dengan sebutan Yogyakarta sebagai Indonesia mini.

In short, masih bersuasana Yogya yang berhati nyaman.

Seharian jalan-jalan di Yogya membuat rasa kangen saya pada kota ini sedikit terobati. Jogja memang ngangenin. Terutama suasana di malam hari dengan warung makan lesehannya. Ketika masih tinggal di Yogya, makan malam lesehan bersama teman-teman saya anggap sebagai sebuah hal biasa, tak ada yang istimewa. But after I had left Yogya, I just realized that it was a precious moments. Unforgettable. Dan sampai saat ini suasana seperti itu belum saya temukan di kota lain selain Yogya.

Sehari di Yogya memang tidak cukup. Masih banyak tempat menarik lainnya yang sebenarnya ingin sekali saya kunjungi, namun sayang waktunya yang nggak ada. I promise myself then to go back there for holiday again one day, entah kapan :)

Yogyakarta, sering juga disebut dengan Jogja, Jogya, Ngayogyakarta, atau bagi sebagian orang Jawa disebut dengan nama Yodjo, memang kota yang akan selalu membuat rindu siapapun yang pernah tinggal di sana.

Thursday, December 10, 2009

Adil atau Tidak Adil


Di salah satu televisi swasta kemarin ada tayangan yang cukup menarik, mengenai beberapa warga negara yang mendapatkan hukuman akibat perbuatan yang ‘mengundang tanya’, kenapa hal tersebut bisa menjadi kasus pidana.

Ada kasus Bu Minah yang terkena pidana 1 bulan 15 hari akibat mengambil 3 biji kakao seharga Rp 2100. Ada juga kisah pengambilan sebutir semangka di Kediri yang membuat orang yang mengambilnya sempat ditahan 2 bulan di penjara dan bahkan mengalami penganiayaan. Di tempat lain ada berita tentang satu keluarga sedang dipidanakan akibat diduga mengambil randu seharga lebih kurang 12 ribu rupiah. Dan beberapa kisah lain yang serupa.

Dari perspektif hukum, yang salah itu memang harus diberi hukuman yang setimpal. Benda sekecil ataupun semurah apapun, selama itu merupakan milik orang lain memang tidak sepatutnya kita ambil. Andai kita ambil, memang sudah sewajarnya kita dapat hukuman.

Tapi, masalahnya adalah, bagaimana dengan kasus pengambilan dana (atau perampokan?) bermilyar hingga bertriliun rupiah milik Negara oleh beberapa oknum yang hingga kini belum tersentuh hukum?

Huff, what can I say?

Saya memang bukan seorang lulusan di bidang hukum. Saya juga bukan orang yang berkecimpung di bidang hukum. Tapi saya peduli. Saya tahu bahwa sekecil apapun barang orang yang kita ambil, kita selayaknya mendapat hukuman. Tapi kalau yang mengambil barang milik orang dalam nilai yang tidak terhitung berapa kali lipat dari barang yang kita ambil saking banyaknya, tapi masih bisa melenggang bebas tanpa mendapat hukuman – andai mendapat hukuman pun dalam waktu yang tidak lama - apakah itu bisa disebut sebagai sebuah keadilan?

Kok saya kedengarannya jadi sinis gini yah?

Habis, saya cuma tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya negeri ini dalam 10 atau 15 tahun ke depan jika sistem peradilan negeri ini tidak berubah.

Monday, December 7, 2009

Adaptasi


When in Rome, do as the Romans do.

*********************

Hidup (salah satunya) adalah bagaimana kita beradaptasi. How we can cope with every single different thing from us with other people and environment surround.

We need to adapt. Di sekolah, di bangku kuliah, di kos, di perusahaan di mana kita kerja, di daerah kita tinggal, di manapun kita berada dan bersosialisasi. We need to adapt, dengan teman sekolah ataupun masa kuliah, kekasih, sepupu, rekan kerja, kolega, maupun boss kita.

Bukan untuk merubah diri kita menjadi seseorang yang lain. Namun untuk mencapai sebuah keharmonisan dan keselarasan dengan orang lain dan lingkungan sekitar kita. Karena kita tidak tinggal sendiri. Kita makhluk sosial yang senantiasa membutuhkan orang lain dalam hidup.

Nah loh, lalu kenapa masih saja ada orang yang selalu dijadikan bahan omongan di satu tempat?

Karena mereka tidak mau beradaptasi. Tidak mau menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana mereka tinggal.

Kalau lingkungan sekitar kita orangnya ramah-ramah dan murah senyum, apa salahnya sih kita juga memberi senyum pada tiap orang yang kita temui, bukankah senyum itu juga adalah ibadah? Ketika sedang berada dalam suasana kerja yang formal, bukankah seharusnya kita juga ikut menyesuaikan diri dengan memakai baju kerja yang formal, dan bukannya malah memakai baju yang dapat membuat orang justru memiliki pandangan yang berbeda tentang pekerjaan maupun diri kita. Jika orang-orang di sekitar kita tidak suka mendengarkan musik yang terlalu keras, mbok ya ngedengerin musiknya juga jangan terlalu kenceng.

Ada banyak hal yang membutuhkan adaptasi. Ada banyak cara juga untuk beradaptasi. Adaptasi membuat kita bisa hidup harmonis dengan yang lain tanpa meninggalkan identitas kita yang sebenarnya. Adaptasi itu mudah, sepanjang kita mau melakukannya dan belajar untuk melakukannya.

So, apa sih sebenarnya kendala beradaptasi? Kok ya masih saja ada orang yang digosipin atau bahkan dipanggil public enemy karena faktor sikap mereka yang ngeselin? Hohoho, unfortunately saya sendiri nggak bisa jawab. Soalnya saya bukan seorang public enemy sih, dan tidak pernah berniat untuk menjadi seorang public enemy!


-----------------------------------------------------------

I wrote this passage after hearing my friend’s complain about the attitude of a person whom called as public enemy in her office. One interesting sentence I got from this friend to show her resentment was : it would not be a matter if she lived by herself in a forest with her attitude that never could adapt with the others!

Wednesday, December 2, 2009

Cerita Keberhasilan dari Teman


Minggu lalu ada salah satu teman dekat saya menelpon, mengabarkan kalau dirinya diterima di sebuah Departemen. Terdengar jelas ada nada bahagia dalam suaranya. Dan saya ikut bahagia mendengarnya.

Hari ini, salah seorang teman yang dekat dengan saya secara pekerjaan (hooh :D) juga memberi kabar kalau dirinya diterima sebagai CPNS di Pemda ibukota negeri tercinta ini. Tampak jelas kebahagiaan di raut mukanya. Dan saya, ikut merasakan kegembiraannya.

Selama setahun terakhir ini, saya banyak melewatkan berbagai aktivitas dengan ke dua teman tadi. Berbagi pekerjaan, bertukar pikiran, makan bareng, sharing ide, bahkan terkadang curhat masalah pribadi. Dari kebersamaan itu saya jadi tahu bagaimana pandangan dan pemikiran mereka mengenai hidup, termasuk juga tentang arti sebuah pekerjaan.

Hingga, mereka mengabarkan keberhasilan mereka dalam seleksi yang mereka ikuti.

Satu pelajaran yang saya dapat dari mereka. Keberhasilan terjadi karena ada usaha dan kesempatan. Ada usaha tapi tanpa kesempatan means that we have to find another chance to make an effort to win. Ada kesempatan tapi belum ada usaha means that we have to change our mindset from ‘do not want to take this chance right now’  to ‘yes, we have to take this chance wisely right now as if there would be no another chance anymore in the next day’.

Banyak kesempatan di sekitar kita, tapi hanya yang mau berusaha untuk memanfaatkan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya lah yang akan berhasil. And both of my friends just proved it.

Tuesday, December 1, 2009

Tentang Blackberry


Kok lo nggak pake Blackberry aja sih Mir?

Tanya seorang teman waktu melihat handphone saya beberapa waktu lalu.

Gantian saya yang balik bertanya ke teman saya :

Wajib gitu pake Blackberry? :D

---------------------------------------------------------------------------

Yup, demam Blackberry sedang mewabah. Di kantor, mall, bis, kereta, stasiun, ada aja yang lagi pegang Blackberry. Sedang makan, mengetik di komputer, antre bayar barang di kasir, sampai lagi ngipasin ayam bakar (ini khusus tentang penjual ayam bakar di dekat kantor saya :p) masih saja sambil menggenggam BB. Ke toilet ataupun akan beribadah, BB tetap dibawa. Sedang mengobrol, menyetir, bertemu dengan teman-teman lama, atau ketika sedang menonton televisi, mata masih saja melirik ke BB.

Kok saya jadi keliatannya mengamati banget ya para pengguna BB di sekitar saya? Hehe :)

Kalau sampai sekarang saya belum (ingin) memakai Blackberry, setidaknya karena saya :

1.     Belum merasa perlu untuk mengecek dan atau mengirim email setiap waktu (kecuali nanti ya kalau saya sudah menjadi penulis sukses, seorang bos, atau wanita karir beneran yang butuh koneksi internet setiap saat, haha);
2.     Bosan kalau online di ym, g-talk atau windows live messenger terlalu lama;
3.     Tidak terlalu suka meng-update status saya di facebook ataupun twitter setiap waktu dan berlama-lama mantengin dua jejaring sosial tersebut;
4.     Sudah punya modem di kos yang siap dicolok kapanpun (kasihan tar si modem mubazir lagi :p); dan
5.     Masih merasa bahwa life still goes on even without BB, and am still alive without it :D

Eh, tapi saya nggak bilang lho kalau saya tidak suka BB. Saya juga nggak bilang kalau saya tidak mau menggunakan BB.  Saya kadang cuma merasa gemes aja kalau melihat teman atau orang yang hanya sibuk dengan BB-nya dan seolah-olah tidak peduli dengan hal lain. Seolah-olah yang lain tidak ada. 

Well, anyhow it’s about everyone option. Ini tergantung juga dari kebutuhan tiap orang. BB bisa jadi begitu penting ketika sedang berada di luar kantor atau bepergian jauh, padahal ada pekerjaan yang harus diselesaikan secepatnya. BB bisa jadi merupakan alat komunikasi yang sangat berguna bagi orang yang pekerjaannya membutuhkan koneksi internet setiap saat.

Nah, berhubung secara kebutuhan saya merasa belum perlu menggunakan BB, dan saya pikir BB masih terlalu mahal kalau hanya digunakan untuk gaya-gayaan, makanya saya belum memakai Blackberry (meski pernah juga saya berandai-andai kalau saya punya BB mungkin saya tidak akan tersiksa dalam setiap kemacetan). Well, setidaknya untuk saat ini :D.

Oh ya balik lagi ke alasan kenapa saya belum memakai Blackberry tadi, ada satu yang terlewat. Alasan no 6 : soalnya uang saya sekarang ini juga belum cukup untuk beli BB, hahaha… :).

Monday, November 30, 2009

Pulang

- written on Friday, Nov 27th - Lebaran haji tahun ini saya memilih untuk pulang ke rumah. Inilah untuk pertama kalinya saya bisa kembali menyambut Idul Adha bersama keluarga di rumah setelah sekian tahun hanya bisa merayakan Idul Adha di perantauan (padahal nggak jauh-jauh amat sih, hanya di Bandung dan kini Jakarta :p)

Dan disinilah saya hari ini hingga 2 hari ke depan, di Magelang, kampung halaman saya tercinta. Bersama dengan orang-orang yang saya cintai. Keluarga dan beberapa sahabat terkasih.

Saya ingat ketika awal-awal saya kuliah di Bandung. Tiap kali saya mengabarkan rencana kepulangan saya, selalu nada suara bahagia yang saya dengar dari orang tua saya. Tiap kali saya sampai di rumah, biasanya sekitar jam 2-3 an pagi dinihari, orang tua saya pasti sudah bangun dan menunggu kedatangan saya. Juga sudah tersedia makanan dan minuman yang masih panas sebagai penghangat perut setelah menempuh 8 jam di perjalanan.

Meski sudah sekian tahun tinggal terpisah dari keluarga saya di Magelang, rasa berat ketika harus meninggalkan rumah dan kembali ke kota tempat saya bermukim sekarang tetap selalu ada, meskipun saya tahu bahwa rasa berat itu akan segera hilang begitu saya sampai di kota tujuan dan pikiran saya kembali terkonsentrasi dengan aktivitas yang ada.

Hanya dirumahlah, saya merasa diri saya diterima apa adanya. Seberapa besarpun kesalahan yang saya perbuat di luar sana, sebanyak apapun kegagalan yang saya dapatkan, sesering apapun jatuh bangun yang saya rasakan, semua itu seakan luruh ketika saya pulang ke rumah. Di rumah, saya menemukan ketenangan. Di rumah pula, untuk sementara saya terlupakan dengan pekerjaan dan target-target pribadi saya di luar sana yang harus saya kejar.

Pulang ke rumah selalu memberi semangat baru untuk saya. Bahwa saya harus memberikan sesuatu yang terbaik bagi orang-orang yang saya sayangi.

Monday, November 23, 2009

Bu Minah dan Tiga Biji Kakao-nya

-actually it was written on Saturday, Nov 21 2009- Minggu ini ada berita yang kembali membuat hati saya miris. Jauh lebih miris dari berita tentang penggunaan kosmetik pemutih palsu oleh seorang remaja putri usia 18 tahun sehingga membuat sebagian kulit remaja tersebut melepuh dan terbakar. Berita ini tentang Bu Minah. Seorang nenek berusia 55 tahun dari sebuah dusun kecil di kabupaten Banyumas, dengan tiga biji kakao-nya. Tiga biji kakao yang  ia ambil dengan niat hanya untuk dijadikan bibit, telah membuat Bu Minah mendapatkan hukuman 1 bulan 15 hari penjara dengan 3 bulan masa percobaan.

Dua orang member di salah satu milis yang saya ikuti memberikan info tentang berapa sih total jumlah harga dari 3 biji kakao yang diambil Bu Minah? Seorang member memberikan angka Rp 2000 (tanpa menyebutkan apakah dua ribu rupiah untuk satu biji kakao ataukah untuk ketiga biji kakao). Seorang member lagi menuliskan harga Rp 30.000.

Berapakah harga 3 biji kakao tersebut, apakah Rp 2000 ataukah Rp 30.000, tapi yang pasti tiga biji kakao tersebut sanggup membuat Bu Minah menjadi terpidana. Ironis! Padahal Bu Minah sudah meminta maaf dan langsung mengembalikan 3 biji kakao-nya tersebut kepada si mandor kebun yang melihatnya mengambil kakao itu.

Beragam komentar tentang kasus ini bermunculan di beberapa milis yang saya ikuti. Wajar adanya. Ketika persoalan pengambilan 3 biji kakao seharga dua ribu rupiah ataukah tiga puluh ribu rupiah dan si nenek telah meminta maaf, namun masih juga diteruskan ke pengadilan pada akhirnya memang mampu membuat rasa keadilan dari siapapun yang melihatnya tergugah. Juga teriris. Terlebih di saat sekarang ini  di mana begitu banyak kasus pengambilan uang rakyat (baca : korupsi) dengan nilai (baca juga : nominal uang) yang sebenarnya sangat jauh berlipat lipat, bahkan sama sekali sangat tidak sebanding dari sekedar harga 3 biji kakao yang diambil Bu Minah, seakan-akan sulit tertembus kekuatan hukum.

Sedih hati saya melihat bagaimana Bu Minah duduk di persidangan. Bagaimana Bu Minah meminta maaf kepada hakim tanpa didampingi pengacara. Bagaimana Bu Minah tetap memenuhi panggilan pengadilan meski jarak antara rumahnya dengan pengadilan lebih kurang 40 km dengan segala keterbatasan biayanya. Dan bagaimana Bu Minah diwawancarai oleh sebuah televisi swasta dan menjawabnya dalam bahasa Jawa ngapak (dialek Banyumasan) tentang kronologis pengambilan 3 biji kakao hingga dirinya mendapatkan putusan pengadilan.

Semoga satu hari nanti, keadilan benar-benar bisa tegak berdiri di tanah air tercinta ini. Untuk semua kalangan, tanpa pandang bulu. Amien.


Sunday, November 15, 2009

Kosmetik Pemutih, Antara Membuat Cantik dan Membuat Hancur.


Ada satu berita yang cukup membuat hati saya miris weekend ini yang ditayangkan oleh salah satu teve swasta. Tentang akibat penggunaan pemutih kulit yang palsu bagi tubuh. Korbannya, remaja usia belasan tahun, tapi saya lupa daerahnya di mana (namanya juga berita di tv yang hanya selintas, tidak bisa diulang, jadi kalau terlewat ya resiko sendiri :p).

Ceritanya begini. Si remaja, sebut saja Bunga, seorang gadis usia 18 tahun yang ingin mempunyai kulit putih. Makanya si Bunga membeli dan memakai krem pemutih di seluruh badannya, termasuk kulit wajahnya. Bukannya berubah jadi putih dan cantik, setelah menggunakan dua krem pemutih yang dia beli di suatu tempat (keluarganya tidak ada yang tahu dimanakah si Bunga membeli krim tersebut), kulit Bunga malah jadi terbakar! Di teve kelihatan jelas bahwa kondisi kulitnya sebagian terlihat melepuh dan menghitam. Keterbatasan dana membuat keluarganya tidak bisa membawa Bunga ke dokter untuk diperiksa dan diobati.

Masih di tayangan berita tersebut, si reporter berita dari televisi yang bersangkutan juga meperlihatkan kemasan 2 kosmetik yang dipakai oleh Bunga itu. Ironis, di salah satu kemasan kosmetik jelas-jelas tertulis ‘Hydroquinon’ dan ‘Tretinoin’. Hydroquinon termasuk golongan obat keras yang hanya digunakan berdasarkan resep dokter. Pemakaian  yang berlebih / over dosis dari obat keras ini dapat menyebabkan iritasi kulit, kulit menjadi merah, rasa terbakar, serta dapat menyebabkan kelainan pada ginjal, kanker darah, dan bahkan kanker sel hati dalam jangka panjang! Sedangkan bahaya penggunaan ‘Tretinoin’ dapat menyebabkan kulit kering, rasa terbakar dan teratogenik (cacat pada janin). Diduga, Bunga menggunakan kosmetik palsu.

Tapi apakah pada saat membeli kedua kosmetik tersebut, Bunga sudah tahu bahwa kosmetik itu palsu dan mengandung bahan-bahan yang berbahaya?

Keinginan yang besar untuk tampil cantik dalam waktu singkat ditambah pengetahuan yang kurang memadai tentang bahan-bahan kosmetik dan faktor ekonomi yang pas-pasan mungkin menjadi beberapa faktor yang menyebabkan banyak perempuan, baik remaja maupun dewasa, membeli dan menggunakan kosmetik dengan bahan-bahan berbahaya. Asal bisa cantik, putih dan murah. Ada demand, ada supply. Selama masih ada permintaan terhadap kosmetik-kosmetik tersebut, selama itu pula kosmetik dengan bahan berbahaya masih akan diproduksi dan dijual, meskipun terkadang tidak secara bebas di pasaran.

Propaganda sebagian besar iklan kosmetik di televisi memang ampuh untuk membentuk mindset kaum perempuan, terutama yang masih remaja, bahwa cantik itu putih. Sayangnya, hal itu tidak dibarengi dengan pengetahuan mengenai ‘apa’ dan ‘bagaimana’ kosmetik yang aman untuk digunakan. Tidak heran,  banyak orang (tanpa sadar) masih menggunakan kosmetik-kosmetik dengan bahan berbahaya semata-mata agar dapat memiliki kulit putih.

Saya pernah melihat di sebuah pasar modern gitu, banyak kosmetik di jual dengan beragam merk dalam kemasan pot-pot kecil dengan promosi yang menggiurkan. Bagaimana tidak menggiurkan kalau produk-produk itu menjanjikan bisa membuat kulit putih dan kinclong dalam bilangan hari atau minggu. Harganya? Cukup dengan biaya 5 ribu rupiah saja kita sudah bisa membeli salah satu kosmetik itu, murah bukan?   

Well, harusnya dengan harga yang murah, merk yang asing, tanpa nomor POM CD dari BPOM, dan hasil yang instant sudah dapat membuat konsumen berfikir berulang kali untuk tidak membelinya, apalagi memakainya. Tapi keinginan yang begitu besar untuk berkulit putih bisa jadi membuat sebagian perempuan kemudian mengenyampingkan segala hal itu.

Kita toh tidak bisa hanya bergantung pada BPOM untuk merazia kosmetik-kosmetik yang berbahaya. Terlalu banyak bo kosmetik di pasaran. Kosmetik dengan bahan berbahaya juga tidak hanya yang ada di pasar-pasar dengan harga yang murah lho. Dari daftar kosmetik berbahaya yang dikeluarkan BPOM sekitar 2 bulan lalu, banyak juga kosmetik dari klinik-klinik kecantikan terkemuka yang harga satu paketnya mencapai jutaan rupiah. Umumnya kosmetik-kosmetik mahal itu menggunakan bahan merkuri, yang tak kalah berbahaya bagi kulit kita, untuk mempercepat proses pemutihan kulit.

Huff, sebenarnya masih banyak yang mau saya tulis lebih lanjut lagi, khususnya tentang iklan pemutih ataupun program CSR dari perusahaan-perusahaan pembuat kosmetik. Tapi lain kali saja ya, I promise :).

Pada akhirnya pilihan untuk tampil cantik kembali ke diri kita masing-masing. Kita ingin cantik dengan cara seperti apa, apakah dengan cara instant tanpa perlu (mencari) tahu bahan dan komposisi kosmetik yang kita pakai, ataukah dengan memakai kosmetik yang kita yakini benar-benar aman? Yuk ah kita mulai menseleksi dan memastikan bahwa kosmetik yang kita beli benar-benar aman dan terdaftar di BPOM, sehingga tidak ada Bunga-Bunga lain di kemudian hari.

Wednesday, November 11, 2009

Sebuah Kado di Hari ke-15 Usia Baru Saya


Saya sedang memakai masker (masker susu pula) ketika Erick, salah satu teman MT saya di kantor, tiba-tiba datang ke kos saya. Erick langsung ngakak begitu melihat muka saya yang masih berbalut masker. Berhubung untuk sementara saya tidak bisa bicara (daripada maskernya retak :D), akhirnya kita menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi. Ternyata Erick datang membawakan saya kado ultah. Sebuah kado mungil dengan kertas pembungkus bermotif batik.

Horay, dapet kado lagi :).  

Setelah saya buka, ternyata kadonya tidak hanya dari Erick semata (bener kan Rick dugaan gw, hahaha, piss!), tapi juga dari Mama Inna dan Mansyur. Nama pertama, teman di kantor yang lebih sering kita panggil Mama Inna atau Mama Dedeh, tempat curhatnya sebagian anak-anak MT. Nah, kalau Mansyur sama juga dengan Erick, temen MT dari bagian konstruksi.

Meskipun ultah saya sudah lewat 2 minggu yang lalu, tapi yang namanya perasaan senang  tetap saja ada. Senang karena saya merasa diperhatikan, dan disayang sebagai teman (agak kegeeran mode on). Juga karena saya dapat kado (haha, maklum semakin bertambah dewasa – istilah halus dari beranjak tua sebenarnya :D – semakin jarang pula saya dapat kado).

Mama Inna, Erick dan Mansyur, terima kasih banyak atas kadonya. Insyalloh akan sangat bermanfaat. Tapi itu baru kado intinya ya, kado ’bunga-nya’ (berhubung telat, telat kan ada denda, hihihi) tetap ditunggu :D.

Tuesday, November 10, 2009

Saya (Memang) Belum Berhasil, tapi Saya Tetap Tersenyum


9 November 2009. Hari pengumuman dari sebuah kompetisi. Dan ternyata, pengumuman itu menyatakan bahwa (mungkin) belum saatnya bagi saya untuk menerima hasil terbaik dari kompetisi yang saya ikuti itu sekarang.

Jika hasil kompetisi kemarin dinyatakan melalui nilai sebagaimana hasil ujian akhir di masa perkuliahan, saya yakin saya bisa mendapatkan nilai A. Tapi, hey, ini bukanlah sebuah ujian di masa kuliah yang hasil akhirnya berwujud huruf, yang bisa kita ulang ketika kita tidak puas dengan nilai yang kita raih di semester berikutnya. Ini adalah sebuah kompetisi real dalam hidup, ketika semua orang berbekal (diantaranya) nilai-nilai terbaiknya selama kuliah saling berkompetisi untuk mendapatkan hasil akhir yang terbaik. Hasil yang nyata, bukan berwujud huruf.

Saya menyadari usaha saya mungkin belum maksimal di tengah kontestan lain yang kompetensinya tidak berbeda jauh atau bahkan di atas saya (dalam konteks IPK ya karena kontestan yang diundang berkompetisi didasarkan pada IPK). Saya juga mengakui bahwa meskipun saya ingin berhasil, namun saya hanya setengah hati untuk mengikuti kompetisi itu karena passion saya tidak sepenuhnya di bidang yang dikompetisikan tersebut.

Saya memang belum berhasil. Kecewa, iya. Sedih, sedikit. Tapi menyerah, no way buat saya. Makanya saya tetap memilih untuk tersenyum menerima pengumuman tersebut. Tetap memilih untuk tidak menyerah dan bersemangat melalui hari-hari saya selanjutnya. Tetap memilih untuk terus belajar agar diri saya berkembang menjadi semakin baik. Dan tetap memilih untuk berpikir positif tentang apapun hasil yang saya terima ataupun yang akan saya hadapi nanti.

Saya yakin, Allah SWT akan memberikan sesuatu yang terbaik untuk saya di saat yang tepat, sepanjang saya memberikan yang terbaik untuk apapun usaha yang saya lakukan.

Sunday, November 8, 2009

Tidak Semua Hal Harus Via Facebook


Si dia di depan saya masih saja diam. Sambil terus memencet keypad ponselnya. Lama saya menunggu jawaban, namun tak juga ada sepatah kata pun keluar darinya. Masih saja terus menatap layar handphone dan tersenyum sendiri. Selang beberapa menit kemudian, baru dia merespon pertanyaan saya:

Lo tadi nanya gue ya Mir?

Halah, gubrak! Ternyata dia asyik dengan facebook-nya.

Well, itulah sedikit dampak dari adanya Facebook. Sebuah situs jejaring sosial yang mampu membius jutaan orang untuk melupakan keadaan disekitarnya. Paling tidak selama sekian menit, seperti teman saya tadi :-).

Kenapa saya hanya sebut facebook, meski sebenarnya banyak jejaring sosial lainnya, seperti twitter ataupun friendster, semata karena facebook (sepertinya) lebih diterima dan digunakan oleh masyarakat luas. Baru di jaman facebook, ada kantor yang harus membanned situs ini agar karyawannya tidak asyik berfacebook ria di tengah jam kantor. Baru di jaman facebook pula, sesi pemotretan bersama sahabat, teman, rekan kerja, atau kolega, seringkali diakhiri dengan kalimat, ’fotonya jangan lupa di-tag di facebook yah..’

Ada teman saya bahkan sampai niat membeli hape yang dapat terkoneksi terus dengan facebook at any time and in everywhere. Jangan ditanya statusnya, update terus :-). Tapi ada juga teman yang hanya sesekali membuka facebook. Alasannya simple, sebenarnya malas join tapi daripada dibilang ketinggalan jaman kalau tidak punya facebook.

Buat saya sendiri, facebook is just for fun. Media komunikasi dengan teman-teman lama saya yang sudah tersebar di mana-mana, terlebih ketika sebagian di antara mereka sudah mengganti no handphone-nya atau justru saya yang kehilangan no hape mereka. Alat penghubung saya dengan teman-teman untuk saling tahu kabar masing-masing, terutama ketika saya dan mereka sudah terpisah jarak yang saling berjauhan. Juga tempat untuk sekedar menuliskan comment-comment lucu dan tertawa-tiwi (dalam bentuk smiley dan kata-kata tentu saja), seperti yang biasa saya lakukan ketika masih bersama mereka.

Melalui facebook, saya bisa melihat keadaan teman-teman saya dalam momen-moment istimewa mereka yang tidak bisa saya ikuti. Pernikahan, kehamilan atau kelahiran. Lewat facebook pula, saya bisa ikut merasakan apa yang sedang dirasakan teman-teman saya, tanpa mereka harus curhat dengan saya. Entah sedih, bahagia, marah, dan beragam perasaan lain. Dari facebook juga saya jadi tahu betapa ganteng dan cantiknya pasangan hidup sahabat-sahabat saya ataupun chubby-nya baby sahabat saya.

Tapi tidak semuanya bisa lewat facebook, tentunya.

Ketika teman kos kita yang kebetulan kamarnya persis di depan kamar kita ulang tahun, masak sih kita mesti memberinya ucapan selamat via facebook. Juga ketika sahabat kita terkena musibah bencana alam. Akan jauh berbeda rasanya ketika kita menghubunginya, entah dengan menelpon ataupun bertemu face to face, dan mendengar langsung curahan hatinya tentang musibah itu dibanding dengan menuliskan rasa simpati kita di facebook-nya. Ketika sahabat tersayang sakit, rasanya akan lebih bernilai ketika kita bisa meluangkan waktu sejenak untuk menjenguknya, ditambah peluk dan cium untuknya, jika dibanding dengan menuliskan kata-kata semoga cepat sembuh di wall-nya.

Ketika tetangga kita membutuhkan pertolongan mendesak dari kita, apakah kita akan menjawabnya melalui facebook juga?

Saya tidak bilang bahwa komunikasi melalui facebook itu tidak bagus. Hanya yang sekarang ini saya lihat, banyak orang sepertinya (selalu) lebih memilih menggunakan facebook di hampir setiap waktu dibanding menggunakan media komunikasi lain yang sebenarnya jauh lebih bermakna.

Ketika jarak menjadi pemisah antara kita dengan orang-orang terdekat kita, facebook memang bisa menjadi sebuah media yang akan tetap mendekatkan kita dengan mereka. Buat yang dekat, facebook bisa menjadi perekat kebersamaan. Tapi bukan berarti segala sesuatunya bisa dieskpresikan melalui facebook. Ada rasa yang lebih indah di saat-saat tertentu ketika segala sesuatunya dapat disampaikan secara langsung, secara pribadi. Hanya antara kita, saya atau anda, dengan dia. Lewat tatap muka, lewat suara ataupun sms.

So, bagaimana arti facebook bagi Anda?

Tentunya hanya Anda sendiri yang paling tahu jawabannya.

Yuk ah, jangan sampai facebook malah membuat kita dekat dengan yang jauh, tapi menjadi jauh dengan yang dekat, ok!

Thursday, November 5, 2009

Friends, on My Birthday


Selasa, 27 Oktober 2009. Handphone saya berbunyi. Sms. Hmm, masih pagi. Kira-kira dari siapa ya?

Birthday is a day when you remember that you are now grow up. Learn from your mistakes and work harder to achieve your wishes. Happy birthday, Bulbul :)

Oh, ternyata dari Mbak Tani, salah satu sahabat terbaik saya, yang memberikan ucapan selamat atas bertambahnya usia saya. Ajaib, membaca sms itu membuat pagi hari saya menjadi begitu berbunga-bunga (hahaha, lebay!) Eh tapi bener lho, sekian tahun saya tidak bertemu dengan Mbak Tani, terakhir mungkin pada pertengahan tahun 2005, dan si Mbak tersayang masih mengingat ultah saya. Juga nama panggilan sayang buat saya. Bukan sebuah kejutan, tapi satu hal yang sangat bernilai. Dan bermakna dari seorang sahabat.

Handphone saya berbunyi lagi. SMS. Berbunyi lagi. Kini giliran telp yang masuk. Beberapa menit kemudian masuk satu sms lagi.

Ketika saya buka facebook sore harinya, wall saya penuh dengan ucapan selamat ultah untuk saya dari teman-teman. Mulai dari teman-teman dari jaman SD, SMP, SMU, kuliah, hingga teman-teman di tempat kerja saya sekarang. Juga teman-teman yang saya kenal dari tempat les Bahasa Inggris, teman kos ataupun aktivitas yang lain. Beberapa bahkan merupakan teman yang saya kenal hanya selintas lewat, ketika bertemu di acara wisuda kampus ataupun tes rekruitment kerja. Saya bahagia dan terharu. Tidak mengira banyak teman yang entah sudah berapa tahun tidak berjumpa, ternyata masih menyempatkan waktu untuk menuliskan beberapa kata ucapan, harapan dan doa di wall saya.

Handphone saya masih terus berdering hingga larut malam. Bergantian antara sms dan telp, meskipun frekuensinya lebih banyak sms. Comment di wall facebook saya juga terus bertambah. Alhamdullilah, hari itu selain menyukuri nikmat bertambahnya umur saya, saya juga beryukur banyak teman yang mengingat hari ultah saya (hehe, meskipun kalau di facebook sudah ada reminder khusus beberapa hari sebelumnya).

Saya merasa bahagia ketika membaca sms, email ataupun comment di wall facebook saya, juga ketika menerima telp dari teman dan mendengar ucapan ultah langsung dari mereka. Saya merasa diterima. Saya merasa dihargai. Dan disayangi. Meskipun hubungan pertemanan saya dengan beberapa teman tidaklah selalu berjalan mulus, tapi hal itu justru membuat pertemanan kami menjadi kian berwarna. Perhatian mereka di hari ultah saya membuat saya semakin menyadari betapa menyenangkannya mempunyai banyak teman. Dan saya menyebut segala bentuk perhatian itu, entah sms, email, telp ataupun tulisan di facebook, sebagai sebuah simply touch the hand of a friend. Sederhana, tapi berkesan.

Tidak ada kata lain yang bisa saya ucapkan selain terima kasih atas perhatian mereka. Lots of thanks, all my dear friends!

Sebelum tidur, saya sempatkan untuk membuka facebook saya lagi, siapa tahu ada comment baru yang masuk atau mungkin ada comment yang terlewat belum saya baca. Tuh kan, benar dugaan saya. Ada dua comment baru dan satu comment yang ternyata belum saya baca. Saya baca comment yang terlewat dulu ah. Dari Teh Yuli, teman sekaligus mentor saya belajar jurnalistik ketika saya masih menimba ilmu di sebuah radio berita. Bunyi ucapannya:

Mirce.... met ultah yah.... semoga kecentilan kamu berkurang.... suara tinggi kamu merendah.... overconfidence kamu menurun... ditunggu di Bandung, TRAKTIR!!!!!"

Hahaha... how I love all of my friends!



Saturday, October 31, 2009

Kuliah sambil bekerja, bisa-bisa saja kok :)


Seorang teman men-tagged saya dalam notenya di Facebook. ‘Susahnya kuliah dan bekerja’, begitu inti dari notenya. Hmm, membaca note tersebut membuat saya jadi teringat ketika saya kuliah dulu. Saya juga masih kuliah ketika memutuskan untuk mulai mencoba bekerja secara serius. Well, memang tidak mudah untuk kuliah dan bekerja. Banyak teman saya yang malah akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah karena sudah keasyikan kerja. Atau tetap kuliah namun menomorsatukan kerja sehingga lulusnya terlambat.

Ketika saya memutuskan untuk kuliah dan bekerja dalam satu waktu, saya sudah memikirkan hal itu berikut konsekuensinya. Itu yang saya sadari sejak awal. Menyadari bahwa setiap keputusan pasti ada konsekuensi membantu saya untuk meminimalisir tingkat keluhan jika ternyata realita dari keputusan saya berbeda dari yang saya harapkan.

Semuanya bermula ketika pada masa libur kuliah saya memilih untuk menghabiskan masa liburan saya dengan magang di sebuah radio. Niatnya sih hanya ingin mencari pengalaman, khususnya di bidang jurnalistik. Eh, tak disangka, Station Manager radio tersebut kemudian menawari saya kesempatan untuk join setelah saya menyelesaikan magang saya.

Beberapa teman baik sebelumnya sudah mengingatkan saya kalau kuliah sambil bekerja pasti bakalan : 1. capek; 2. kesulitan membagi waktu antara kuliah dan kerja; 3. IP bisa turun; 4. kehilangan banyak waktu bersama teman-teman; 5. Tar bisa stress, terus uring-uringan, dsb..dsb (too many to be mentioned here :p). Dan ternyata sebagian ramalan teman-teman saya itu memang benar adanya. Apalagi ternyata saya harus bekerja multi tasking, bahkan dalam bidang Finance yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kuliah saya di komunikasi.

Capek, pasti. Riweuh, lumayan sering. IP, oh well memang lumayan turun. Nitip absent, hihihi, pernah juga. Hang out with friends, nggak sesering dulu sih. Dan (sebenarnya) masih banyak lagi hal yang bisa saya keluhkan pada saat itu.

Tapi saya menikmati saat-saat tersebut. Saat di mana saya kecapekan, saat di mana saya harus bekerja cepat dengan waktu yang terbatas agar saya dapat menunaikan kewajiban saya sebagai mahasiswa untuk kuliah, saat di mana saya harus bolak balik antara kantor dan kampus, dan saat di mana saya harus bekerja lembur sambil tetap komunikasi dengan dosen untuk bimbingan skripsi sesuai jadwal. Juga saat dimana saya mengerjakan tugas kuliah / skripsi sementara teman-teman kos saya sudah tidur ataupun saat di mana saya harus bangun pagi untuk berangkat kerja sementara yang lain masih tertidur.

Dari semua waktu itu, saya jadi belajar arti sebuah kerja keras. Saya belajar tentang ’time management’, bagaimana saya harus memprioritaskan pekerjaan yang lebih penting terlebih dahulu dengan tidak meninggalkan pekerjaan lain begitu saja. Saya juga belajar untuk bisa bekerja dengan baik di bawah tekanan. Saya belajar dari setiap kesalahan yang saya buat sehingga saya tidak mengulanginya lagi. Saya down ketika IP saya turun dan belajar untuk tetap konsentrasi ke kuliah saya. Saya belajar untuk melihat sebuah kendala sebagai tantangan yang harus saya hadapi. Dan juga saya belajar untuk bisa menghargai waktu, juga uang.

Saya juga dapat belajar berkomunikasi secara langsung dengan banyak orang dari berbagai latar belakang pendidikan dan pekerjaan ataupun belajar tentang dunia jurnalistik maupun media relations dengan teman-teman saya di kantor dan rekan-rekan wartawan dari media lainnya, sesuatu yang selama ini lebih banyak saya pelajari secara teori.

Banyak, banyak sekali hal yang saya pelajari dari masa ketika saya kuliah sambil bekerja. Dan semua itu pada akhirnya membentuk saya menjadi pribadi yang tidak mudah menyerah, tidak gampang capek dan selalu berusaha untuk tetap bersemangat dalam setiap hari yang saya lalui. Juga untuk selalu bersyukur sambil tetap berusaha mencari yang lebih baik dan terbaik buat hidup saya.

Kuliah sambil bekerja pasti tidak akan mudah. Dibutuhkan sebuah komitmen yang kuat untuk bekerja sebaik mungkin dengan kuliah tetap menjadi prioritas yang utama. Saya bersyukur mendapat kesempatan untuk bisa mulai belajar bekerja ketika masih kuliah dan melaluinya dengan baik, juga untuk semua hal yang terjadi didalamnya. Dan saya menyebut masa itu sebagai bagian dari proses pendewasaan diri saya.

So, tidak semua orang lho bisa mendapatkan kesempatan memulai kerja selagi kuliah. Karena itu, buat yang sekarang masih kuliah dan nyambi kerja, yuk ah tetap semangat, tetap berusaha melakukan dan memberikan yang terbaik, untuk mendapatkan yang terbaik juga.