Sunday, October 31, 2010

on My Birthday Today

The written below should be uploaded on October 27th 2010 :)

Beep.
Getaran handphone saya untuk menandakan ada sms, email, maupun notification facebook yang masuk, bergetar terus hari ini.

Bukan karena sibuk atau dibutuhkan banyak orang (hoho:p), tapi karena hari ini saya ulang tahun. Alhamdullilah, banyak sms, telp, email maupun ucapan melalui facebook yang saya terima dari keluarga maupun teman-teman saya.
Ulang tahun kali terasa cukup berbeda buat saya. Ada beberapa hal yang membuat ultah tahun ini menjadi cukup berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.
Tambah usia, sudah pasti. Tambah dewasa, itu pilihan :). Tapi bukan itu yang membuat berbeda.
Ada kemandirian, passion, pembuktian terhadap kekuatan usaha dan doa serta pilihan hati, yang di tahun lalu seakan masih di awang-awang, perlahan mulai terlihat di tahun ini.
Alhamdullilah.
Hanya kata itu yang bisa saya ucapkan terus dan tak putus...
Di hari ini juga saya mencoba mengingat kembali semua hal yang telah saya lalui. Betapa banyak kemudahan yang selama ini saya dapat di antara kesulitan yang saya rasakan.
Doa saya tidak selalu terwujud, tapi Allah SWT memberikan banyak hal yang jauh melebihi apa yang saya pinta. Setiap keluhan saya di masa lalu dijawab-Nya dengan kesempatan yang melebihi apa yang pernah saya keluhkan. Kesempatan yang terkadang bahkan mengingatkan saya dengan impian saya saat kecil, sekolah, kuliah, hingga bekerja. Kesempatan yang membuat saya merasa bahwa inilah yang saya cari.
Menjadi tugas saya untuk memanfaatkan setiap kesempatan yang telah diberikan-Nya untuk saya.
Hari ini usia saya bertambah satu tahun. Jalan saya masih panjang. Masih banyak hal-hal lain yang ingin saya capai dan wujudkan di masa mendatang. Masih banyak pula hal lain yang harus saya pelajari.

Dan, penambahan usia saya tahun ini seolah menjadi turning point bagi saya, untuk terus berusaha menjadi lebih baik lagi di masa mendatang dan juga percaya, bahwa Yang Maha Kuasa sudah sedemikian cantiknya mengatur segala sesuatu yang terbaik untuk saya.

Sudah Ber-BB :)

Lo beneran pake BB Mir? Blackberry kan, bukan Blueberry? :D
-Sms seorang teman, akhir Oktober ini-
---------
Yup, akhirnya saya pakai BB. Bukan dipakai untuk sekedar gaya-gayaan, ataupun mengikuti trend jaman sekarang:).

Agar bisa terkoneksi dengan email kantor dan gmail (ups, kesebut deh :p), itu alasan kenapa akhirnya saya membeli BB.
Awalnya saya justru kurang suka dengan benda satu ini yang booming sejak sekitar beberapa tahun lalu. Alasannya simpel: sekian teman menggunakan BB hanya untuk facebook-an, chatting atau juga BBM-an, dan (sepertinya) malah lupa dengan pekerjaannya.
Mau berangkat bermain bulu tangkis, update status. Waktu pertandingan bulu tangkis tinggal 5 menit lagi, masih nyempetin update status. Pertandingan masuk waktu istirahat, bisa baca dari update statusnya. Pas kalah, eh update lagi. Buset dah :p Tapi giliran pekerjaan, nanti-nanti terus jawabannya (maaf, sama sekali tidak bermaksud menyindir siapapun, itu juga saya baca dari status teman yang non bb :D) .
Itu yang membuat saya nggak suka dengan BB, membuat orang (seolah-olah) jadi egois dan menjadi tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya dan bertahan untuk tidak pakai BB.
Hingga, modem dari salah satu provider internet yang saya gunakan selama ini seringkali tidak ada sinyal saat saya bawa ke site, layanan web mail di kantor pun diblock padahal ini merupakan satu-satunya cara agar tetap dapat stay in touch dengan beberapa sahabat, ditambah pekerjaan saya juga  yang sebagian besar di lapangan sehingga tidak setiap saat saya bisa terkoneksi dengan layanan email kantor.
Itu yang membuat saya kemudian memutuskan membeli BB. Blackberry, bukan Blueberry, apalagi Beriberi (ini versi keponakan saya, hehe).
Begitu punya BB, saya jadi tahu alasan kenapa banyak orang yang seolah-olah menjadi egois kalau sudah berkutat dengan BB-nya. Facebook, twitter atau you tube dapat dibuka kapan pun. Belum lagi ym, g-talk maupun MSN, bisa online 24 jam.
Makanya ym, g-talk atau MSN saya hanya online kalau malam (eh kadang siang online juga sih, kalau pas suntuk, hihi :p), begitu juga dengan facebook yang malahan jarang saya buka. Pengecualian hanya untuk twitter, yang seringkali saya buka sebagai sarana tempat menumpahkan isi hati (hadeuh naon sih :p). Beda dengan email kantor yang rutin saya cek ataupun ber-BBM-an dengan rekan kerja atau atasan saya di kantor.
Karena saya nggak ingin orang yang melihat saya ketika memakai BB menjadi kesal atau sebal, seperti dulu yang sering saya rasakan ketika melihat orang lain yang sedang asyik ber-BB tanpa mengindahkan lingkungan sekitar.
Karena itulah, saya masih tetap sebal dengan orang-orang yang selalu ‘nyenthuk’ dengan BB-nya semata-mata hanya untuk membuka facebook atau chatting. Atau ber-BBM-an masalah pribadi, ketika rekan kerja lainnya sedang pontang panting menyelesaikan sebuah pekerjaan.
Karena kita lah yang harus mengendalikan BB, bukan BB yang mengendalikan kita :)

Sunday, October 24, 2010

Antara Hati dan Pekerjaan

Nduk, kerjo kuwi kudu seko ati. Meh sepiro abote gaweane, nek le kerjo seko njero ati, ora bakalan kroso abot.
-Nasehat Papa saya di suatu sore saat saya pulang ke rumah-
----------------------------------------

Buka fb. Ada update status dari seorang teman, sebut saja A. Demotivasi lagi.. demotivasi lagi. Begitu tulisnya.
Saya agak terkesima membaca statusnya. Sekian bulan lalu, ia menuliskan status yang sama saat masih bekerja di perusahaan sebelumnya. Diikuti dengan status-status selanjutnya yang selalu bernada keluhan tentang pekerjaan yang saat itu dijalaninya.
Saat itu saya masih menerima status dia dengan wajar, 'mungkin dia benar-benar sudah tidak memiliki passion baik dalam bidang pekerjaan maupun tempat di mana ia bekerja', pikir saya waktu itu.
Hingga saya mendengar kabar jika teman saya itu mendapatkan pekerjaan baru, di bidang dan tempat bekerja yang benar-benar ia dambakan, seperti yang selalu diceritakannya pada saya.

Belum genap 6 bulan dari sejak ia meninggalkan pekerjaan yang lama dan memulai pekerjaan barunya, muncul status tersebut dari teman saya itu. Beberapa status lain bernada sama, masih tentang ketidakpuasannya dalam bekerja di tempat barunya, ternyata sudah pernah ia update sebelumnya.
Jujur, saya kaget dia menulis hal itu di statusnya. Tadinya saya berpikir jika bekerja di bidang dan tempat yang memang sudah menjadi dambaannya selama ini, seharusnya dia semangat. Semestinya dia bersyukur karena inilah passion dia.
Tiba-tiba saya ingat, seorang teman pernah berucap:

Buat orang lain mungkin bekerja dengan hati itu bullshit Mir, tapi buat gw, selama gw hidup nggak bakalan gw kerja kalo nggak dari hati.
Sedikit ekstrim kedengarannya. Tapi saya setuju dengan pendapat teman saya tadi. Bekerja itu harus dengan hati. Untuk pekerjaan apapun. Karena hati akan menentukan mindset kita, apakah kita bisa menikmati sebuah pekerjaan atau tidak. Jika tanpa hati, mau di manapun atau di bidang apapun kita bekerja, bahkan seberapa besarpun gaji yang kita terima, hanya keluhan yang akan muncul.
Bukannya saya tidak pernah mengeluh. Saya juga pernah mengalami satu waktu di mana saya selalu mengeluhkan tiap hal dalam pekerjaan saya. Harusnya begini, harusnya tidak seperti itu, dan masih banyak lagi keluhan yang lain. Tapi saya masih berusaha untuk menggunakan hati saya ketika bekerja, meski passion saya sudah tak lagi di situ. Dan, ketika saya sudah tidak mampu lagi bekerja dengan menggunakan hati, saya tahu, itulah saat di mana saya harus berhenti. Berhenti dan mencari tempat di mana saya bisa bekerja dengan menggunakan hati saya.
Bukankah bekerja itu adalah ibadah?
Namun apakah bekerja bisa disebut sebagai sebuah ibadah jika yang kita lakukan hanya mengeluh dan mengeluh? Yuk ah, tanya ke hati kita masing-masing. Ikutkah ‘dia’ ketika kita bekerja? :)

-Hanya sebagai renungan pribadi- 

Bekerja dengan Sistem Baru

Kerja di Jakarta itu ibarat 6 P: pergi pagi pulang petang pantat panas.
-Sms seorang teman jam 7.25 pagi WIB, jam macet-macet-nya di Jakarta-
----------------------------
Yup, bekerja di Jakarta bagi saya seperti menghabiskan waktu di jalan. Berangkat pagi, kepagian sampai kantor, berangkat agak siangan, kesiangan yang ada. Pulang juga begitu. Pulang teng go, ketemu macet. Pulang agak maleman, eh masih ketemu macet juga.

Beberapa bulan lalu, saya masih menjalani rutinitas seperti yang disebut teman saya dengan 6 P itu. Namun efektif sejak pertengahan Juni 2010, sejak bergabung dengan perusahaan tempat saya bekerja saat ini yang bergerak di bidang mining construction, rutinitas tersebut saya tinggalkan. Di pekerjaan saat ini, saya ditempatkan di site dan bekerja dengan sistem 6 weeks on : 2 weeks off atau biasa disebut 6:2, 6 minggu bekerja di site dan 2 minggu off kembali ke Jakarta.
Banyak teman beranggapan bahwa sistem kerja 6:2 ini sangat berat. Enam minggu bekerja di weekdays maupun weekend, dari pagi hingga sore.
Kelihatannya sih memang berat. Kelihatannya?
Yuk saya jelaskan kenapa saya bilang hanya ‘kelihatannya’.
Secara kasat mata sepertinya pekerjaan saya ‘agak’ berat, 6 minggu masuk dengan lokasi sebagian besar di remote area. Kenyataannya, bekerja dengan sistem seperti ini justru sebaliknya, menyenangkan buat saya. Setidaknya sampai saat ini :).
Dengan sistem kerja 6:2, saya bangun tiap hari jam 5 pagi, mulai kerja jam 6 pagi hingga jam 6 sore, dari Senin sampai Minggu. Sekitar jam 18.15 atau paling lambat jam 18.30, saya sudah sampai di mess dan sudah bersiap makan malam. Jam kerja saya dihitung dari pukul 6 pagi – 6 sore, dari Senin sampai Minggu.
Kalau saya kerja di Jakarta, saya tetap bangun jam 5, jam 6 pagi saya sudah harus di jalan untuk menghindari macet. Baru sampai kantor jam setengah 8-an lebih (kadang lebihnya banyak sampai mepet jam 8 :D), jam kerja dihitung dari jam 8 pagi sampai 5, dan baru sampai rumah sekitar 8 – 9 malam. Pernah, ketika saya berangkat dari rumah sepupu saya di bilangan Ciledug, berangkat malahan harus dari jam 5 pagi dan baru sampai rumah jam 10 malam. Sabtu-Minggu, karena kerjaan saya kebanyakan di lapangan (maen bola :p), lebih sering saya masuk ketimbang libur. Adapun jam kerjanya, teteup, hanya dihitung dari pukul 8 – 5, Senin – Jumat.
See, berapa banyak waktu yang terbuang di jalan ketika saya bekerja di Jakarta. Belum ditambah dengan kemacetan yang semakin hari sepertinya makin bertambah parah. Saya juga nggak perlu menghirup udara yang udah kecampur asap knalpot kendaraan, nggak perlu juga mendengar klakson mobil, motor dan bis saling beradu di jalan. Belum kalau saya pas naik bis dan nggak kebagian tempat duduk, terjebak macet pula waktu berdiri di bis. Duh, rasanya pengen teriak :D
Sedangkan di site, jam setengah 7 pagi saya sudah sampai kantor dan mulai bekerja, di saat yang sama sebelumnya saya masih di jalan menuju kantor di Jakarta. Tiap pagi saya masih bisa merasakan nikmatnya udara segar, juga sunrise. Begitu pula saat pulang, saya bisa berlama-lama memandangi indahnya sunset. Kadang ada bonus tambahan, bisa melihat monyet yang sedang loncat-loncat dari satu dahan ke dahan lain dalam perjalanan menuju kantor maupun ketika akan berkunjung ke sebuah desa :D. Jam setengah 7 malam juga saya sudah sampai mess siap makan, sementara jika di Jakarta jam segitu pasti saya masih di jalan juga.
Hidup saya justru lebih teratur dengan sistem kerja seperti ini. Saya bisa sarapan, makan siang dan makan malam tepat waktu. Begitu juga untuk bangun tidur maupun tidur-nya. Kebalikannya, saat saya bekerja di Jakarta, saya jarang banget bisa sarapan, makan siang kadang ngaret, apalagi makan malam. Maag saya jadinya nggak pernah kambuh tuh sejak saya bekerja dengan system 6:2.
Keuntungan lain, dengan waktu libur 2 minggu saya bisa sering-sering pulang ke rumah orang tua saya di Magelang, bertemu teman-teman saya di Bandung, Yogya, dan Jakarta tentunya, masih punya waktu juga untuk liburan.
Saya memang tidak bisa selamanya bekerja dengan sistem seperti ini, 6 minggu bekerja di luar Jawa dan 2 minggu di Jakarta. Namun setidaknya, saya hanya berusaha menikmati apa yang saya dapat dan sedang lakukan saat ini. Karena itulah intinya, untuk menikmati hidup.
Bagaimana mungkin kita bisa menikmati hidup, jika untuk menikmati apa yang sedang kita kerjakan saja kita tidak bisa?

Wednesday, October 20, 2010

Kucing dan Kasih Sayang

Seharusnya juga ter-upload di pertengahan September J
Balikpapan, 13 September 2010.
Saat mau ambil uang di atm, (sepertinya) di daerah Klandasan, Balikpapan, tidak sengaja saya melihat seekor induk kucing di bawah sebuah mobil bersama anaknya.

Awalnya saya tidak terlalu memperhatikan induk-anak tersebut. Selang beberapa menit sesudahnya, karena saya masih antre atm, saya mulai ‘ngeh’ jika ada yang aneh dengan anak kucing itu. Lehernya kelihatan lunglai dan matanya terbuka, sama sekali tidak bereaksi sementara induknya masih terus menciumi leher si kucing.
Ternyata, anak kucing itu sudah mati. Penyebabnya saya kurang tahu pasti, karena tidak ada darah juga di badan si kucing kecil. Tiba-tiba induknya membawa anak kucing itu – dengan cara menggigit lehernya- berjalan ke dekat tempat saya berdiri. Begitu direbahkan, si induk terus menciumi leher anaknya yang sudah mati. Tak berapa lama, induknya membawa anaknya pindah tempat lagi, dan terus menciumi leher anaknya begitu badan anaknya direbahkan di tanah. Dan begitu seterusnya, sampai dalam hitungan saya, lebih dari 6 kali induk kucing melakukan hal itu. 
Saya sengaja mundur dari antrean atm dan mempersilahkan orang di belakang saya lebih dulu karena saya ingin terus melihat induk kucing itu.
Saya nggak tahu apakah si induk kucing itu tahu kalau anaknya telah mati atau tidak. Namun di sini saya diingatkan, bahwa meski ia hewan, naluri antara ibu dan anaknya pasti ada.
Saya sebenarnya membawa kamera, tapi saya tidak tega untuk memotretnya. Memotret induk kucing, yang meski saya tidak tahu pasti bagaimana perasaannya saat itu, tapi saya yakin dia sedih. Bersedih kehilangan anaknya.
Lebih dari itu, saya tidak memotret mereka karena saya teringat dengan Ibu saya. Lebaran tahun ini saya lewatkan sendirian, di tempat yang masih baru untuk saya, jauh dari keluarga. Saya baik-baik saja selama lebaran, tidak menangis sama sekali, dan masih baik-baik saja, hingga saat melihat induk kucing itu.
Saat itulah saya sadar, sekuat apapun kita, without family we are nothing.

Di Kalimantan

Seharusnya sudah ter-upload sejak akhir September 2010 :)

Kalimantan? Nggak salah lo Mir mau kerja di Kalimantan?

-komentar beberapa teman saat mereka tahu saya akan ditempatkan di Kalimantan-

-------------------------
Buka blog, baru sadar kalau well it’s been a long time (too long malah) I didn’t write anything on this blog..
Jadi ceritanya begini. Saya mendapatkan tantangan baru di tempat baru juga, masih di bidang CSR (alhamdulillah), dengan area kerja di Kalimantan.
Kalimantan?
Iya, di Kalimantan atau sering disebut juga Borneo. Nggak terhitung berapa banyak teman yang kaget dan bahkan menyarankan saya untuk tidak mengambil kesempatan ini, hanya karena area kerja di Kalimantan!
Saat saya melamar pekerjaan saya saat ini, saya sudah menduga jika diterima kemungkinan besar saya akan ditempatkan di site perusahaan di luar Jawa. Makanya sejak dari proses wawancara hingga akhirnya dinyatakan diterima, saya sudah siap untuk bekerja di Kalimantan.
Oh ya, sistem kerja saya juga berubah. Jika sebelumnya saya hanya bekerja di Weekdays atau dari Senin-Jumat seperti pada umumnya, sekarang sistem kerja saya 6 weeks on dan 2 weeks off. Days on in East Kalimantan, while during my days off I’ll be in Jakarta or other places I’d like to visit :).  
Berbeda dari bayangan teman-teman saya, ternyata bekerja di Kalimantan itu menyenangkan. Banyak hal baru yang saya temui di lapangan yang membuat periode 6 weeks on di Kalimantan tidak terasa.
Alamnya masih natural, pegunungannya hijau, sungainya besar, udaranya juga segar. Laut, kapal dan pantai menjadi hal yang biasa saya lihat. Di Kalimantan pula saya masih bisa melewati hutan. Bahkan pernah, saya dan atasan-atasan saya di kantor menemukan sebuah kampung yang hampir seluruh infrastrukturnya terbuat dari kayu. Mulai dari rumah, balai pertemuan, halaman rumah, jembatan, lapangan bulu tangkis, pasar, hingga jalan lingkungan di desa itu, all infrastructures and public facilities are made from wood. Awesome!
Di sini, saya juga masih bisa ketemu dengan tanaman putri malu, yang jaman saya SD sering saya injak-injak daunnya hingga ’mengkeret’ tiap pulang sekolah  (haha, sadis ya :D).
Meski suara sempat hilang 2 hari akibat adaptasi cuaca yang sungguh cukup esktrim di sana, saya juga harus beli nomer baru dari provider yang punya moto menjangkau hingga 1000 kabupaten, ataupun mulai harus membiasakan diri dengan komentar banyak (sekali) orang tentang saya yang katanya bertambah ’eksotik’ (kelam maksudnya :D), but after all, saya justru menikmati periode on saya di Kalimantan, terutama karena saya nggak kena macet seperti saat saya masih bekerja di Jakarta (something that always makes my head literally ‘jedug-jedug’).
Kesempatan kerja di Kalimantan juga saya anggap sebagai tempat mengasah mental, kedewasaan dalam berfikir dan juga keterampilan komunikasi saya.
Baru 6 minggu sih saya di Kalimantan, masih terlalu dini jika saya bilang saya sudah betah tinggal di sana. Namun yang pasti, I enjoyed my first 6-week on period. Tantangan memang lebih besar, tapi bukankah hal itu yang akan membuat kita semakin kuat dan pintar (haiyah, emang vitamin :D)?