Sunday, October 24, 2010

Antara Hati dan Pekerjaan

Nduk, kerjo kuwi kudu seko ati. Meh sepiro abote gaweane, nek le kerjo seko njero ati, ora bakalan kroso abot.
-Nasehat Papa saya di suatu sore saat saya pulang ke rumah-
----------------------------------------

Buka fb. Ada update status dari seorang teman, sebut saja A. Demotivasi lagi.. demotivasi lagi. Begitu tulisnya.
Saya agak terkesima membaca statusnya. Sekian bulan lalu, ia menuliskan status yang sama saat masih bekerja di perusahaan sebelumnya. Diikuti dengan status-status selanjutnya yang selalu bernada keluhan tentang pekerjaan yang saat itu dijalaninya.
Saat itu saya masih menerima status dia dengan wajar, 'mungkin dia benar-benar sudah tidak memiliki passion baik dalam bidang pekerjaan maupun tempat di mana ia bekerja', pikir saya waktu itu.
Hingga saya mendengar kabar jika teman saya itu mendapatkan pekerjaan baru, di bidang dan tempat bekerja yang benar-benar ia dambakan, seperti yang selalu diceritakannya pada saya.

Belum genap 6 bulan dari sejak ia meninggalkan pekerjaan yang lama dan memulai pekerjaan barunya, muncul status tersebut dari teman saya itu. Beberapa status lain bernada sama, masih tentang ketidakpuasannya dalam bekerja di tempat barunya, ternyata sudah pernah ia update sebelumnya.
Jujur, saya kaget dia menulis hal itu di statusnya. Tadinya saya berpikir jika bekerja di bidang dan tempat yang memang sudah menjadi dambaannya selama ini, seharusnya dia semangat. Semestinya dia bersyukur karena inilah passion dia.
Tiba-tiba saya ingat, seorang teman pernah berucap:

Buat orang lain mungkin bekerja dengan hati itu bullshit Mir, tapi buat gw, selama gw hidup nggak bakalan gw kerja kalo nggak dari hati.
Sedikit ekstrim kedengarannya. Tapi saya setuju dengan pendapat teman saya tadi. Bekerja itu harus dengan hati. Untuk pekerjaan apapun. Karena hati akan menentukan mindset kita, apakah kita bisa menikmati sebuah pekerjaan atau tidak. Jika tanpa hati, mau di manapun atau di bidang apapun kita bekerja, bahkan seberapa besarpun gaji yang kita terima, hanya keluhan yang akan muncul.
Bukannya saya tidak pernah mengeluh. Saya juga pernah mengalami satu waktu di mana saya selalu mengeluhkan tiap hal dalam pekerjaan saya. Harusnya begini, harusnya tidak seperti itu, dan masih banyak lagi keluhan yang lain. Tapi saya masih berusaha untuk menggunakan hati saya ketika bekerja, meski passion saya sudah tak lagi di situ. Dan, ketika saya sudah tidak mampu lagi bekerja dengan menggunakan hati, saya tahu, itulah saat di mana saya harus berhenti. Berhenti dan mencari tempat di mana saya bisa bekerja dengan menggunakan hati saya.
Bukankah bekerja itu adalah ibadah?
Namun apakah bekerja bisa disebut sebagai sebuah ibadah jika yang kita lakukan hanya mengeluh dan mengeluh? Yuk ah, tanya ke hati kita masing-masing. Ikutkah ‘dia’ ketika kita bekerja? :)

-Hanya sebagai renungan pribadi- 

0 comments: