Living in a remote area is not as bad as many people may think J
Remote area, atau jika dalam Bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai wilayah terpencil, sebuah kata yang akrab di telinga saya sejak beberapa bulan terakhir, sejak bergabung dengan perusahaan tempat saya bekerja saat ini yang bergerak di bidang mining construction. Dan selama bertugas di site di Kalimantan Timur, saya memang lebih banyak tinggal di remote area.
Sesuai dengan namanya, remote area memang merupakan sebuah daerah terpencil, pelosok atau bahkan di tengah hutan.
Hutan?
Iya, hutan. Hutan asli, beneran, nggak bohong.
Entah sudah berapa kali saya mendapatkan pertanyaan dari teman-teman saya tentang bagaimana rasanya hidup di hutan.
Nah, kalau berat atau tidaknya, saya kok percaya jika hal ini tergantung dari bagaimana cara kita melihatnya. Seringan apapun suatu keadaan, jika kita melihatnya sebagai suatu yang berat, pasti juga akan terasa berat jadinya.
Sama halnya dengan bagaimana rasanya hidup di remote area.
Kalau mau dipandang berat à di tengah hutan, sebentar panas sebentar hujan, kadang ada sinyal kadang ilang, nggak bisa jajan bakso, jauh dari atm apalagi mall, dan pasti masih ada sederet keluhan lain.
Tapi kalau mau dipandang ringan à Pagi bisa liat sunrise, tiap hari bisa liat pemandangan hutan yang masih ijo, bebas macet, udara masih seger, dan bisa lihat sunset yang cantik hampir tiap sore.
Banyak kejadian lucu, unik, tidak biasa, aneh, rada menyeramkan, merupakan pengalaman pertama, berkesan, yang sering saya sebut sebagai pelajaran untuk mengkayakan hidup, yang saya dapat selama tinggal di remote area.
Sebagai contoh, pernah selama beberapa minggu, jaringan telp di site tempat saya tinggal mengalami kerusakan. Untuk bisa menelpon ke luar area site, handphone harus diletakkan di pinggir-pinggir jendela agar bisa menangkap sinyal. Makanya selama beberapa waktu, pemandangan handphone digeletakkan di pinggir jendela kantor maupun jendela mess menjadi suatu hal yang biasa. BBM jelas mati total saat itu, lha wong sinyal untuk telpon saja tidak ada :D. Jika handphone bergeser sedikit saja, sinyal juga akan ikut menghilang, sehingga masing-masing handphone biasanya sudah punya spot sendiri-sendiri yang tidak boleh dipindahkan tanpa seijin si empunya handphone.
Jasa sewa signal akibat sinyalnya hanya ngendon di satu tempat :p
Coba, mana bisa saya merasakan hal seperti itu kalau Jakarta? :p
Sama halnya ketika saya sangat menikmati pemandangan hutan hijau yang cantik di depan salah satu site perusahaan saya di wilayah Sanga-Sanga, Kutai Kartanegara. Terasa sekali hutannya, dan justru itu yang menyenangkan.
Pemandangan di depan mess, cantik kan :)
Ketika tinggal di Jakarta, TV dan HP seolah menjadi menjadi benda wajib buat saya. Namun di sini, saya bisa melewatkan banyak hari tanpa TV, dan terkadang juga BB. Karena di sini saya bisa mengobrol dan bercanda hangat dengan teman-teman baru, beberapa diantaranya malahan sudah akrab, secara langsung, face to face. Tidak melalui twitter, bbm ataupun ym. Dan ini mengingatkan saya dengan kebersamaan yang saya rasakan dengan teman-teman waktu kuliah dulu, saat sesi curhat hingga larut hampir tiap malam.
Banyak teman yang heran kenapa saya betah tinggal di site, beberapa malah bilang aneh :p. Saya memang menikmati tinggal di remote area karena banyak hal baru yang saya temui di sini, hal-hal yang mengkayakan hati, memperluas ilmu sekaligus juga menggembleng mental saya (nah, kalau 2 hal yang terakhir nanti saya ceritakan di lain cerita :D), dan tentunya tidak didapat semua orang.
Selain itu, mau saya menikmati atau tidak tinggal di remote area, toh saya memang harus tinggal di sini selama 6 minggu. Daripada saya ngedumel terus selama di sini dan justru akan membuat waktu 6 minggu terasa seperti 7 bulan (haiyah, lebay :p), mencoba untuk menikmati apapun selama tinggal di sini termasuk dengan segala keterbatasannya justru malah membuat waktu 6 minggu terasa begitu cepat.
Selain itu, mau saya menikmati atau tidak tinggal di remote area, toh saya memang harus tinggal di sini selama 6 minggu. Daripada saya ngedumel terus selama di sini dan justru akan membuat waktu 6 minggu terasa seperti 7 bulan (haiyah, lebay :p), mencoba untuk menikmati apapun selama tinggal di sini termasuk dengan segala keterbatasannya justru malah membuat waktu 6 minggu terasa begitu cepat.
Saya tahu, tidak selamanya saya akan bekerja di remote area seperti ini. Ada masa nanti saya harus kembali bekerja di Jakarta dan duduk di belakang meja. Dan saat tiba di masa itu, saya tidak ingin menyesal kenapa tidak mempergunakan kesempatan tinggal di remote area dengan baik.
Trust me, living in a remote area is really not as bad as many people may think J
Trust me, living in a remote area is really not as bad as many people may think J
0 comments:
Post a Comment