Friday, January 28, 2011

Lahar Dingin dan Merapi

Gunung Merapi itu seperti penggambaran orang Jawa. Mau meletus, tidak langsung meletus namun batuk-batuk dulu, untuk memberikan pertanda.
-ucapan salah satu dosen saya suatu hari di tahun 2006-
---------------------------------------------
Saat saya menulis ini, saya tengah berada di salah satu site perusahaan di wilayah Separi, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara, sekitar 1.5 jam dari Samarinda menggunakan transportasi darat. Terpisah ribuan km dari rumah saya di Magelang sana. Dan, sedang menonton tayangan berita tentang robohnya sebuah jembatan di Magelang akibat diterjang lahar dingin.
Secara regular, tiap 6 minggu bekerja di site saya mendapatkan libur 2 minggu penuh, yang biasa disebut dengan masa cuti atau R&R (rest and recreation). Meski hanya beberapa hari, tiap masa cuti selalu saya sempatkan untuk pulang ke rumah.
Saat cuti saya di pertengahan Oktober 2010 lalu, keadaan di Magelang dan Yogya masih baik-baik saja. Mungkin saja sebenarnya saat itu Merapi sudah mulai menampakkan adanya gejala atau tanda - tanda meletus. Mungkin, bisa jadi. Namun belum ada pemberitaan mengarah ke hal itu.
Hingga saat saya sudah berada di site, pemberitaan mengenai Merapi mulai menghangat sejak sekitar tanggal 20-an di bulan Oktober 2010.  Saat itu saya masih yakin jika Merapi masih akan baik - baik saja. Andaikata pun meletus, dampak letusannya kemungkinan tidak akan terlalu besar. Seperti yang pernah terjadi di tahun 2006 lalu, saat Merapi diprediksi akan meletus namun ternyata justru gempa hebat yang terjadi di Yogya.
Namun dugaan saya ternyata salah besar. Tepat sehari sebelum ulang tahun saya, kuncen Gunung Merapi Mbah Maridjan diberitakan telah meninggal dunia akibat terkena lahar panas atau biasa disebut wedhus gembel.
Innalilahi wa inna ilaihi rojiun.
Perasaan saya sudah mulai tak enak. Apalagi pemberitaan-pemberitaan di hari-hari sesudahnya, menunjukkan jika aktivitas Merapi terus meningkat. Keluarga maupun beberapa sahabat lama yang saya hubungi untuk terus mendapatkan berita terbaru tentang Merapi, tak seperti biasanya, kali ini begitu terus terang dengan kekhawatiran mereka tentang Merapi. Merapi memang belum pernah seperti ini sebelumnya.
Jujur, minggu keempat bulan Oktober hingga minggu kedua bulan November 2010 merupakan periode yang terberat bagi saya. Saya bekerja jauh dari keluarga, kampung halaman saya tiap hari muncul di hampir semua media, dan saya sempat selama beberapa hari tidak bisa berkomunikasi dengan keluarga saya.
Saya selalu berusaha untuk tetap tersenyum dan menjawab baik-baik saja tiap ditanya bagaimana keadaan rumah, meski saya hampir selalu menangis saat melihat tayangan mengenai betapa lumpuhnya kota tempat tinggal saya, terjangan wedhus gembel di daerah Pakem hingga Cangkringan, proses evakuasi warga ataupun kondisi di pengungsian, juga tiap membaca sms dari ayah saya yang kantornya di wilayah Sleman terpaksa diliburkan selama beberapa hari akibat Merapi. Dan, selalu menangis dalam doa yang saya panjatkan usai sholat.
Saya juga sedih, takut dan khawatir dengan keadaan rumah saya, apalagi sejak jarak aman Merapi diperluas menjadi 20 km, jarak aman terjauh untuk letusan Merapi yang pernah ada selama ini. Sementara rumah saya berada dalam jarak 30an km.
Tapi apa saya lantas harus menuliskan perasaan saya setiap saat dalam akun facebook atau twitter atau juga status bbm saya agar semua orang bisa tahu saya bersedih? Apakah saya mesti memasang tampang sedih terus menerus dan mengeluhkan bencana Merapi pada semua orang yang saya temui agar orang bersimpati pada perasaan saya?
Tak ada yang bisa saya lakukan selain berdoa dan terus berdoa. Jika ingin menuruti hati, betapa ingin saya pulang dan berada di tengah keluarga saya saat bencana itu terjadi. Namun ada tanggung jawab yang saya emban, yang membuat saya tidak bisa begitu saja pulang ke rumah.
Balik lagi ke banjir lahar dingin yang beritanya masih terus menghiasi tayangan berita di TV hingga sekarang. Rasa khawatir masih ada, namun hati saya terasa lebih tenang saat ini. Mungkin karena saat cuti di pertengahan medio Desember 2010 lalu saya sempat pulang ke rumah sehingga bisa melihat langsung bagaimana keadaan kota saya pasca bencana, sekaligus merasakan optimisme dari masyarakat untuk kembali beraktivitas seperti sedia kala.

Lahar dingin mungkin masih akan terus mengalir hingga beberapa waktu ke depan sebagaimana prediksi dari beberapa pihak terkait, namun setidaknya saya sudah pulang dan melihat bahwa kondisi kota saya mulai kembali normal. Hal itu sudah cukup membantu saya untuk bisa tenang selama berada di sini.

0 comments: