Sunday, February 20, 2011

Yuk Menulis

Sedang mengobrol masalah hobi dan investasi (nggak nyambung sebenarnya), seorang teman tiba-tiba bertanya:
Emang kenapa sih harus menulis?
Eh, iya juga ya, kenapa kita harus menulis?
Bagi mereka yang berprofesi sebagai wartawan atau blogger aktif, mungkin pertanyaan ini sudah tidak perlu lagi dijawab. Sehari saja tidak menulis mungkin ada yang terasa hilang dalam hidup :). Beberapa teman yang saya kenal bahkan memiliki 2 hingga 3 blog sekaligus sebagai media untuk menampung ide-ide maupun pemikirannya, dalam bentuk tulisan tentunya.
Akhir-akhir ini, saya beberapa kali bertemu dengan orang-orang yang baik dari profesi maupun latar belakang pendidikan nggak ada hubungannya sama sekali dengan menulis. Mereka bercerita jika memiliki keinginan untuk menulis, namun belum juga mulai menulis. Rata-rata alasan yang dikemukakan antara lain bingung harus memulai menulis dari mana (kalau saya malah biasanya bingung cari ending tulisannya, hehe :p).
Nah, kalau untuk teman-teman yang punya blog dan sering nggak update (seperti saya juga, hoho :p), alasan standar yang paling sering diberikan antara belum ada mood untuk menulis atau nggak ada waktu.
Masalah waktu memang menjadi dalih paling populer untuk membuat orang belum mau menulis. Padahal waktu sebenarnya bukanlah penghalang bagi seseorang untuk terus menulis. Pernah nggak Anda bertemu dengan orang yang sangat sibuk dengan pekerjaannya, namun masih bisa menjadi seorang kontributor untuk sebuah harian nasional atau freelance writer untuk beberapa content blog? Saya pernah, beberapa kali malah. Dan itu yang menginspirasi saya untuk terus menulis.
Karena sebetulnya, menurut saya, tidak ada alasan untuk tidak menulis.
Coba deh lihat pekerjaan kita. Sesedikit apapun frekuensinya, kita pasti membutuhkan keahlian menulis. Entah menulis memo untuk atasan kita, mengirimkan email ataupun membuat surat untuk pihak luar. Menulis merupakan salah satu skill yang akan selalu dibutuhkan dalam berbagai aspek kehidupan.
Nah, kembali ke pertanyaan awal. Kenapa sih harus menulis?
Berangkat dari hobby suka menulis diary sejak jaman saya SD, menulis sudah menjadi kegiatan yang tak terpisahkan dari apapun yang saya lakukan. Dan kenapa saya masih suka dan terus menulis, meskipun kadang tulisannya nggak penting, setidaknya karena 4 alasan :
Pertama, menulis membuat saya tetap berpikir kritis dan terus belajar. Dengan menulis, saya dibiasakan untuk terus berpikir, banyak membaca dan juga aktif mencari materi-materi yang berhubungan dengan isi tulisan saya (biasanya kalau yang ini untuk blog batik saya, hehe). Keuntungannya, wawasan saya akan terus bertambah.
Kedua, dengan semakin sering menulis secara tidak langsung akan mengasah skill menulis saya. ’Alah bisa karena biasa’. Begitu juga dengan menulis. Menulis melatih saya untuk bisa menyusun dan mengurutkan ide, gagasan atau pemikiran saya secara jelas dalam rangkaian kata-kata yang enak dibaca.
Ketiga, menulis menimbulkan rasa percaya diri dan keberanian saya, karena tulisan yang saya buat kemungkinan akan dibaca orang lain. Dengan menulis juga, saya dilatih untuk berani menerima setiap kritik atau masukan untuk tulisan yang saya buat.
Keempat, menulis membantu saya untuk menyimpan banyak hal yang telah saya lakukan selama ini. Banyak hal dalam hidup yang terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja tanpa didokumentasikan, salah satunya dalam bentuk tulisan.
Saya pernah tertawa sendiri dan tersipu malu (:p) saat membaca tulisan-tulisan dalam blog yang saya buat sekitar 2 – 3 tahun lalu.  Menyenangkan memang, mengingat hal-hal yang kita tulis beberapa waktu lalu sembari melihat peningkatan gaya bahasa kita.
Peningkatan gaya bahasa?
Sok deh dicek, email resmi yang kita kirim 3 tahun lalu dengan hari ini pasti akan terlihat bedanya. Saya kerap malu sendiri saat membaca ulang email-email formal yang saya kirim entah untuk atasan atau pihak luar di bulan-bulan pertama saya bekerja sekitar 4 tahun lalu. Sungguh 'acakadut' :D
Seperti halnya pisau yang semakin sering diasah akan semakin tajam, demikian juga halnya dengan menulis. Semakin sering seseorang menulis, semakin dia akan pintar dalam memilih dan mengolah kata.
Hanya, meski memang harus dibiasakan terus menulis, terkadang saya menulis ketika memang benar-benar sedang ingin menulis saja (jangan ditiru ya :D). Karena bagi saya, terlepas dari empat alasan tadi, menulis sebenarnya adalah a way to escape from reality, cara agar saya bisa melupakan kejenuhan atau kebosanan yang saya rasakan, walaupun sebentar.

Dan tulisan dari hati yang sedang mood dengan tulisan untuk mencapai target, have to say this, hasilnya memang berbeda, dan ujung-ujungnya saya sering lama tidak menulis karena sering menuruti hal ini :).

Saturday, February 19, 2011

Living in a remote area

Living in a remote area is not as bad as many people may think J
Remote area, atau jika dalam Bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai wilayah terpencil, sebuah kata yang akrab di telinga saya sejak beberapa bulan terakhir, sejak bergabung dengan perusahaan tempat saya bekerja saat ini yang bergerak di bidang mining construction. Dan selama bertugas di site di Kalimantan Timur, saya memang lebih banyak tinggal di remote area.
Sesuai dengan namanya, remote area memang merupakan sebuah daerah terpencil, pelosok atau bahkan di tengah hutan.
Hutan?
Iya, hutan. Hutan asli, beneran, nggak bohong.
Entah sudah berapa kali saya mendapatkan pertanyaan dari teman-teman saya tentang bagaimana rasanya hidup di hutan.
Nah, kalau berat atau tidaknya, saya kok percaya jika hal ini tergantung dari bagaimana cara kita melihatnya. Seringan apapun suatu keadaan, jika kita melihatnya sebagai suatu yang berat, pasti juga akan terasa berat jadinya.
Sama halnya dengan bagaimana rasanya hidup di remote area.
Kalau mau dipandang berat à di tengah hutan, sebentar panas sebentar hujan, kadang ada sinyal kadang ilang, nggak bisa jajan bakso, jauh dari atm apalagi mall, dan pasti masih ada sederet keluhan lain.
Tapi kalau mau dipandang ringan à Pagi bisa liat sunrise, tiap hari bisa liat pemandangan hutan yang masih ijo, bebas macet, udara masih seger, dan bisa lihat sunset yang cantik hampir tiap sore.
Banyak kejadian lucu, unik, tidak biasa, aneh, rada menyeramkan, merupakan pengalaman pertama, berkesan,  yang sering saya sebut sebagai pelajaran untuk mengkayakan hidup, yang saya dapat selama tinggal di remote area.
Sebagai contoh, pernah selama beberapa minggu, jaringan telp di site tempat saya tinggal mengalami kerusakan. Untuk bisa menelpon ke luar area site, handphone harus diletakkan di pinggir-pinggir jendela agar bisa menangkap sinyal. Makanya selama beberapa waktu, pemandangan handphone digeletakkan di pinggir jendela kantor maupun jendela mess menjadi suatu hal yang biasa. BBM jelas mati total saat itu, lha wong sinyal untuk telpon saja tidak ada :D. Jika handphone bergeser sedikit saja, sinyal juga akan ikut menghilang, sehingga masing-masing handphone biasanya sudah punya spot sendiri-sendiri yang tidak boleh dipindahkan tanpa seijin si empunya handphone.
Jasa sewa signal akibat sinyalnya hanya ngendon di satu tempat :p
Coba, mana bisa saya merasakan hal seperti itu kalau Jakarta? :p
Sama halnya ketika saya sangat menikmati pemandangan hutan hijau yang cantik di depan salah satu site perusahaan saya di wilayah Sanga-Sanga, Kutai Kartanegara. Terasa sekali hutannya, dan justru itu yang menyenangkan.
Pemandangan di depan mess, cantik kan :)
Ketika tinggal di Jakarta, TV dan HP seolah menjadi menjadi benda wajib buat saya. Namun di sini, saya bisa melewatkan banyak hari tanpa TV, dan terkadang juga BB. Karena di sini saya bisa mengobrol dan bercanda hangat dengan teman-teman baru, beberapa diantaranya malahan sudah akrab, secara langsung, face to face. Tidak melalui twitter, bbm ataupun ym. Dan ini mengingatkan saya dengan kebersamaan yang saya rasakan dengan teman-teman waktu kuliah dulu, saat sesi curhat hingga larut hampir tiap malam.
Banyak teman yang heran kenapa saya betah tinggal di site, beberapa malah bilang aneh :p. Saya memang menikmati tinggal di remote area karena banyak hal baru yang saya temui di sini, hal-hal yang mengkayakan hati, memperluas ilmu sekaligus juga menggembleng mental saya (nah, kalau 2 hal yang terakhir nanti saya ceritakan di lain cerita :D), dan tentunya tidak didapat semua orang.

Selain itu, mau saya menikmati atau tidak tinggal di remote area, toh saya memang harus tinggal di sini selama 6 minggu. Daripada saya ngedumel terus selama di sini dan justru akan membuat waktu 6 minggu terasa seperti 7 bulan (haiyah, lebay :p), mencoba untuk menikmati apapun selama tinggal di sini termasuk dengan segala keterbatasannya justru malah membuat waktu 6 minggu terasa begitu cepat.  
Saya tahu, tidak selamanya saya akan bekerja di remote area seperti ini. Ada masa nanti saya harus kembali bekerja di Jakarta dan duduk di belakang meja. Dan saat tiba di masa itu, saya tidak ingin menyesal kenapa tidak mempergunakan kesempatan tinggal di remote area dengan baik.

Trust me, living in a remote area is really not as bad as many people may think J