Wednesday, April 28, 2010

Sahabat (tetap) Jadi Sahabat

Habis ngedengerin lagu 'Lucky'-nya Jason Myraz feat Colbie Caillat, tiba-tiba jadi kepikiran dengan bagian reffrain-nya : 
Lucky I am in love with my best friend
Kadang saya suka bertanya-tanya sendiri, kok bisa ya ada yang suka sama sahabat sendiri?

Selama ini saya termasuk orang yang percaya jika seorang perempuan bisa bersahabat akrab dengan seorang pria tanpa ada embel-embel rasa suka. Saya memiliki hubungan pertemanan yang cukup akrab dengan beberapa teman pria, dan selama bersahabat dengan mereka nggak ada tuh istilah cemburu atau merasa ditinggalkan ketika masing-masing dari mereka punya pacar. Lagipula, saya juga sudah menganggap mereka seperti kakak atau saudara sendiri.

Basically, saya memang lebih comfort bersahabat dengan pria daripada perempuan (meski jumlah sahabat perempuan saya tetap jauh lebih banyak dari pria, hehe :D), karena sahabat pria terkadang jauh lebih objective dan jujur dalam mengungkapkan pandangan ataupun penilaiannya, entah tentang diri saya, orang lain ataupun mengenai sebuah masalah.

Kita memang tidak bisa menentukan siapa orang (baca: lawan jenis) yang akan kita sukai. Bisa dengan teman sekelas, partner kerja,  orang yang baru saja kita kenal, atau sahabat sendiri seperti lagunya Jason Mraz tadi. 

Bukan bermaksud mengganggap aneh teman-teman yang berpacaran dengan sahabatnya sendiri, tapi jujur, hanya merasa aneh saja tiap membayangkan bagaimana rasanya suka dengan sahabat sendiri, karena kalau buat saya seorang sahabat akan tetap lebih baik menjadi seorang sahabat.

Meski memang, pepatah 'witing trisno jalaran seko kulino' terkadang is indeed proven :) 

Tuesday, April 27, 2010

Tiga Hari di Bandung

’’Bandung tuh sekarang panas banget, Mir. Gila, ampun deh panasnya sekarang’’.

Repetisi seorang teman waktu kita chatting di ym. Dalam bayangan saya, Bandung sekarang menjelma menjadi sebuah kota yang sangat panas, sepanas Jakarta mungkin :)

------------------------------

Akhirnya, setelah beberapa minggu hanya berencana tanpa realisasi, weekend ini saya benar-benar bisa ke Bandung.

’Baru kayak gini dibilang panas banget?’

Komentar saya dalam hati pas sampai di Bandung. Ini mah panasnya belum seberapa dibanding kota tempat tinggal saya sekarang :D.

Memang sih lebih panas dibanding sekitar 3 tahun lalu ketika saya masih tinggal di Bandung. Jaman kuliah dulu saya masih sering tidur dengan penampilan ala ’Ninja’: topi, syal, sweater, kaos kaki, dan celana panjang. Masih ditambah selimut untuk mengindikasikan betapa dinginnya Bandung di masa itu.

Meski memang terasa lebih panas sekarang, tapi panasnya Bandung masih dalam tahap wajar lah kalau bagi saya, setidaknya saya masih berani memakai baju berlengan pendek (kalau di Jakarta pake lengan pendek, beuh yang ada langsung gosong tuh kulit :p). Masih terasa ada hawa angin, airnya juga masih dingin. 

Cuma 3 hari saya di Bandung, dari Jumat sampai Minggu, tapi cukup untuk mengobati kerinduan saya dengan kota ini.

Meski hanya tinggal beberapa tahun di Bandung selama kuliah, tapi sedikit banyak kota ini memberikan kenangan tersendiri buat saya. Waktu kuliah, episode jalan-jalan dengan teman-teman kuliah, masa di mana harus ngirit tiap akhir bulan (haha, khas anak kos pisan), hingga  jaman ’grudak-gruduk’ menyeimbangkan waktu antara kuliah dan kerja.

Banyak cerita juga yang terjadi di Bandung. Tentang seorang mahasiswa perantauan yang di awal-awal kuliah seringkali mudik ke Magelang dengan alasan home sick, namun akhirnya jatuh hati juga dengan kota ini.  Atau cerita saat belajar hidup mandiri terpisah dari keluarga, yang tenyata tidak semudah seperti yang dibayangkan.

Di kota ini, saya belajar banyak tentang bagaimana hidup merantau, dengan segala seni, suka dan duka-nya.

Bandung, entah panas, lebih panas atau kembali dingin seperti dulu, whatever the weather, still, I love this place.

Sunday, April 18, 2010

Pathet dan Kekayaan Seni Budaya

-Written on Saturday-

Menjadi tugas kita juga untuk ikut mengabadikan kekayaan dan keindahan tanah air Indonesia melalui karya foto yang kita buat.

Mengutip perkataan seorang teman di Klub Fotografi IndoNikon
-------------------------------------------------

Siang tadi saya menemukan sebuah buku berjudul ‘Mode in Javanese Music’ di Perpustakaan Kementrian Pendidikan Nasional (dahulu namanya Perpus Diknas). Sesuai judulnya, ‘Mode in Javanese Music’ membahas tentang musik tradisional suku Jawa. Penulisnya Susan Pratt Walton dari Center for International Studies, Ohio University, United States. Dengan Bahasa pengantar Bahasa Inggris, secara sekilas buku ini menjelaskan secara mendetail mengenai pathet lengkap dengan penjelasan tentang tipe-tipe pathet, cengkok, sinden, dan gamelan. Bahkan, ada kord pathet-nya juga seperti untuk alat musik gitar :).

Pathet? Rasanya masih terdengar asing di telinga :)

Jalan lagi ke rak sebelah. Ada buku berjudul ‘Java, The Eden of The East’. Sayangnya nama pengarang maupun penerbitnya lupa saya catat :). Tapi yang jelas, sama dengan buku Mode in Javanese Music, The Eden of The East juga ditulis dan diterbitkan oleh penerbit dari luar Indonesia. Bukunya sendiri sangat menarik, berukuran buku saku dengan kertas glossy yang dilengkapi dengan berbagai foto tentang keindahan Pulau Jawa. Dari Pulau Jawa Barat (jika dilihat dari tahun penerbitan buku, sekitar 1990-an, Banten ditulis masih sebagai bagian dari Provinsi Jawa Barat), Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali.

Pernah nggak berpikiran hal yang sama seperti saya, kok buku-buku tentang kebudayaan kita justru lebih banyak ditulis oleh orang luar?

Buku-buku tentang kekayaan dan keindahan Nusantara sepertinya sudah cukup banyak ditulis oleh penulis kita. Beberapa diantaranya ditulis berdasarkan pengalaman langsung penulisnya ketika mengunjungi satu pulau ke pulau lain, atau sering juga disebut dengan istilah backpacker.

Tapi seberapa banyakkah buku tentang keindahan dan kekayaan seni dan alat musik tradisional kita yang ditulis secara mendetail dan diterbitkan dalam Bahasa Indonesia?

Jika memang ada bukunya, apakah banyak dari kita yang (masih) mau membacanya ? Ini sebuah pertanyaan juga bagi saya :).

Pengklaiman atas berbagai kekayaan Indonesia oleh sebuah negara memang di satu sisi meningkatkan sense or our belonging atas kebudayaan kita. Tapi di sisi lain juga harusnya dapat menjadi sebuah pembelajaran, bahwa klaim itu terjadi karena memang sebelumnya kita kurang aware. Kurang menghargai budaya kita sendiri.

Seperti Batik, berapa banyak anak muda yang memakai Batik untuk jalan-jalan 5 tahun lalu?

Banyaknya buku tentang kekayaan Indonesia yang ditulis oleh orang luar sejatinya merupakan bentuk apresiasi mereka yang tinggi terhadap berbagai kekayaan alam dan budaya Indonesia. Jika orang luar saja bisa memberikan sebuah penghargaan yang tinggi terhadap budaya kita, kenapa kita tidak memberikan (setidaknya) penghargaan yang sama seperti yang mereka lakukan terhadap budaya negeri kita sendiri?

Yuk ah mulai cintai alam dan kekayaan budaya kita, dengan menulis, Membaca, memotret, atau apapun itu :)

Oh ya, ngomong-ngomong tentang Pathet, menyadur dari Wikipedia diartikan sebagai: 'meski sukar untuk dijelaskan namun dapat dianggap sebagai tipe-tipe melodi dalam gamelan'.

Wednesday, April 14, 2010

Menghitung Teman

Boy friends come and go, but friends are forever.

One favorite quote from the novel I just finished reading this week :).

----------------------------------------------

Pak Eka Budianta, pembimbing di workshop penulisan biografi saya, satu ketika pernah memberikan sebuah penugasan unik kepada saya. Menuliskan nama teman-teman kita dalam waktu selama 30 – 60 menit.

‘’Menghitung teman? Itukan tidak terhitung, ’’ pikir saya dalam hati.

Sebelum saya sempat menanyakan hal itu secara langsung, Pak Eka memberi saya sedikit gambaran tentang tugas ini, kurang lebihnya begini:
Teman-teman kita kelihatannya sangat banyak. Tapi coba deh Mira lihat lagi, apakah Mira tahu  nama lengkap, alamat, hobby, pekerjaan, dst. Coba cek, dengan kriteria tersebut, dalam waktu 30 menit berapakah nama teman yang sudah Mira tulis.

Satu hal yang saya tangkap dari kriteria yang disampaikan Pak Eka, tulis nama teman yang memang benar-benar kenal baik dengan kita.

Minggu lalu saya sengaja menghitung nama teman-teman saya dalam waktu 30 menit. Banyak nama yang saya tulis, namun kemudian saya hapus lagi. Menuliskan nama si A, hmm.. sudah lost contact selama bertahun-tahun. Sedangkan si B, baru kenal kemarin. Dengan si C teman sih, tapi hanya sebatas say hi saja.

Setelah beberapa kali menulis dan menghapus, akhirnya ada sekitar 35 nama teman yang ada dalam corat-coretan saya. Semuanya adalah sahabat dan teman-teman yang masih stay in touch hingga sekarang.

Tiap nama teman yang saya tulis mengingatkan saya dengan berbagai kejadian yang pernah saya lalui di masa lalu. Tanpa saya sadari, betapa selama ini saya memiliki banyak teman yang sangat menyenangkan dan menerima saya apa adanya.

Mengutip satu kalimat dari Pak Eka lagi:

Menghitung teman adalah modal utama untuk hidup.
Kekasih, pacar, belahan jiwa, atau apapun kita menyebutnya, boleh saja datang dan pergi dalam kehidupan kita. Tapi teman, akan tetap menjadi seorang teman.

Tertarik ingin mencoba tugas unik ini? Coba deh hitung seberapa banyak ’benar-benar’ teman yang kita miliki :).

Tuesday, April 13, 2010

The Time When I Feel Like Crying

Beberapa hari ini saya merasa sangat mudah menangis. Hal sekecil apapun terkadang bisa membuat saya ingin meneteskan air mata. Padahal, sebenarnya saya merasa tidak ada masalah yang cukup berat yang membuat saya harus menangis, atau setidaknya merasa ingin menangis.

Biasanya saya tidak mudah menangis. Saya baru akan menangis ketika saya merasa sangat kecewa ataupun marah, namun lebih sering saya menangis karena terharu.

Tapi terkadang saya juga menangis hanya sekedar untuk menumpahkan kekesalan atau ganjalan di hati saya, agar perasaan saya menjadi lega. Dan biasanya, tidak memerlukan waktu yang terlalu lama pula buat saya untuk segera berhenti menangis.

Saya akui memang saya cukup mellow. Saya hampir selalu meneteskan air mata setiap kali melihat reality show tentang kehidupan masyarakat kecil seperti Bedah Rumah ataupun tayangan ketika pedagang kaki lima digusur. Saya juga selalu tersentuh melihat orang-orang yang sudah berumur namun masih harus bekerja berat.

Saya lebih senang mendengarkan suara hujan daripada berjemur di bawah sinar matahari yang hangat. Saya sering mencatat quote dari tokoh-tokoh terkenal yang saya temukan di lagu, film, buku, majalah, televisi atau radio yang membuat saya terinspirasi. Saya lebih menikmati mendengarkan lagu-lagu slow meskipun lagu-lagunya Bonjovi atau Go Go Dolls selalu ada dalam play list musik saya. Saya juga selalu memilih tempat duduk di dekat jendela tiap bepergian agar bisa menikmati indahnya perjalanan.

Tapi belum pernah saya merasa semelankolis ini sehingga sedikit-sedikit merasa ingin menangis. Ingin meneteskan air mata saya.

Semoga ini hanyalah pengaruh dari beberapa deadline pekerjaan yang hampir bersamaan beberapa waktu ini. Atau pengaruh emosional dari target-target yang ingin saya capai. Ataupun pengaruh pergantian cuaca yang cukup ekstrim akhir-akhir ini yang beberapa kali juga ikut mengganggu kondisi kesehatan saya. Atau apapun itu yang make sense dan bisa dijelaskan.

I hate myself when I feel like crying for no reason..