Saturday, March 20, 2010

Mas Kawin Impian

Lagi lihat-lihat model kamera di internet.

Tiba-tiba iseng kepikiran, sepertinya asyik juga kalau seperangkat kamera menjadi sebuah seserahan atau mas kawin sebuah pernikahan :). 

Well, sebenarnya tidak hanya sekali ini sih saya kepikiran tentang seserahan atau mas kawin yang unik dan berbeda. Seserahan yang seringkali saya lihat hampir di setiap pernikahan selalu saja tidak jauh dari segala pernak-pernik perempuan: tas, sepatu, baju, ataupun beraneka macam cake (hmm cake, is it can be considered as a woman thing? p).

Pas browsing beberapa tipe kamera, dan kebetulan memang saya sedang mulai belajar tentang fotografi lagi, am suddenly thinking.. ehm, how about picking up a camera kit as my ‘seserahan’ or ‘mas kawin’ (hihihi, ngarep! :D).


Imaginasi ini mulai berkembang (cukup) serius di pikiran saya terutama setelah saya membaca beberapa berita pernikahan di internet. Rata-rata untuk uang tunai-nya sih seperti pernikahan lain pada umumnya, melambangkan tanggal pernikahan si pengantin. Yang tak biasa adalah, seperangkat peralatan fotografi, laptop ataupun pohon jati sebagai bentuk mas kawin lainnya. Unique!  

Meski bukan sebagai sebuah keharusan, namun alat sholat biasanya merupakan jenis mas kawin yang paling umum diberikan seorang pengantin pria kepada pengantin perempuan. Bukannya tidak mau mendapat seperangkat alat sholat, hanya saya pikir, masing-masing dari kita pasti sudah punya alat sholat kan (hanya sebuah pemikiran aneh yang terkadang terlintas dalam pikiran)?

Anyway, it is only my imagination while under a deadline at work, hehe :D Nggak ada salahnya kan berimaginasi dan sedikit ehm, ngarep? :p

Tuesday, March 16, 2010

Ketika Salah Membaca Tanggal Deadline

Ketidaktelitian akan sesuatu yang terlihat kecil terkadang dapat menimbulkan pressure tersendiri, yang seharusnya tidak perlu terjadi.

-diambil dari pengalaman pribadi :D-

----------------------------------

After Wed (Wednesday). Satu-satunya jawaban saya dalam 4 hari ini ketika diajak teman menonton, jalan-jalan atau berenang. Ym pun selalu saya aktifkan dengan ikon ‘busy’. Dikejar deadline, itu alasannya.

Mana ada sih orang kerja nggak dikejar deadline? Please let me know if there is anyone like that, hehe :D

Tapi deadline kali ini rasanya agak berbeda buat saya. Deadline dipatok hanya 2 hari kerja kedepan untuk beberapa item pekerjaan yang harus saya selesaikan, dengan melibatkan data dan informasi dari bagian-bagian lain.

Wuih, mendadak kepala langsung penuh. Ibarat mobil, menjelang waktu deadline kecepatan kerja saya setel dengan kecepatan maksimum. Di Sabtu-Minggu juga.

Nah, di sela-sela mengcompile data-data dari bagian lain kemarin malam, sambil saya cek item per item dalam email penugasan itu. Pas saya lihat lagi, saya baru sadar kalau ternyata saya salah membaca tanggal deadline. Harusnya deadline di Rabu / 26 Maret atau masih 1 minggu lagi, namun kemarin saya menganggap deadline-nya pada Rabu minggu ini! Haiyah, capek de… :D

Bersumber dari sebuah ketidaktelitian akan sesuatu yang simple, salah baca tanggal deadline, tapi efeknya luar biasa :). Dikejar deadline memang menaikkan daya juang beberapa tingkat lebih tinggi untuk berangkat kerja dengan semangat membara dan menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, tapi di sisi lain juga menimbulkan pressure tersendiri.

Anyway, meski berjanji pada diri sendiri untuk lebih teliti lagi, saya sih tetap mensyukuri kesalahan ini. Kalau saya tidak salah baca, mungkin progress pekerjaan saya belum mencapai hasil seperti hari ini. Mungkin saya juga tidak akan se-taft dalam mengumpulkan data dari banyak departemen sekaligus juga mengcompile dan merumuskannya dalam sebuah materi tulisan dalam waktu singkat.

Setelah sadar bahwa waktu deadline masih cukup jauh sementara progress pekerjaan saya sudah hampir selesai, langsung deh saya online semalaman sampai puas (hahaha, balas dendam ceritanya).

------------------------------------------------------
Most learnt lesson for myself: Lebih teliti lagi!
Good point about me in this case: Yippe, I could work under pressure with smile still on my face!
Something funny happened: 'After Wed'. Maksud saya adalah after Wednesday atau setelah Rabu, namun beberapa teman mengartikan ‘after wed’ dengan pasca menikah setelah pre wed, hahaha :D

Wednesday, March 3, 2010

Sampah di Tidung

Kenapa sih mesti ada sampah di laut?

Itu yang ada dalam pikiran saya, dari sejak kapal meninggalkan Muara Angke dan berlayar menuju Pulau Tidung, terlebih ketika kapal akan merapat di dermaga Pulau Tidung.


Sampah di mana-mana. 

Foto diambil oleh Mas Dani Daniar, salah satu teman di Indo Nikon (Mas Dani, saya ijin ya upload fotonya disini).

Padahal pantai Pulau Tidung indah, punya potensi untuk dikembangkan. Ada jembatan sepanjang 2 km di atas laut yang mungkin tidak akan ditemui di pantai-pantai lain. Pasirnya putih bersih. Lautnya memiliki 2 warna, hijau dan biru. Jernih. Terumbu karangnya terlihat dari permukaan air tanpa kita harus menyelam. 



Cantik kan pantainya? 

Tapi sayang, banyak sampah. Banyaknya bulu babi di pantai menjadi salah satu indikator pantai ini tidak sehat, akibat sampah.

Menurut masyarakat Pulau Tidung, sampah bukan berasal dari mereka melainkan sampah buangan dari Jakarta. Warga sendiri sudah berusaha untuk mengatasi masalah sampah ini, tapi keterbatasan daya membuat mereka tidak mampu mengatasi sampah yang datangnya hampir setiap hari dengan frekuensi yang besar. 

Teringat obrolan dengan Mbak Rieska, bagaimana bisa Pantai Tidung bisa dipromosikan ke orang luar jika banyak sampah? Masalah penginapan yang sederhana tidak akan menjadi masalah buat mereka, but rubbish does really matter for them.

So, haruskah sampah menjadi penghambat Pulau ini untuk berkembang?


Monday, March 1, 2010

A Three-day Back to Nature


Pernahkah membayangkan hidup tanpa ada jalan raya, mobil, AC, ataupun internet connection?

Saya belum, hingga saya bergabung dalam grup Tidung Exploration dengan teman-teman dari klub IndoNikon di Pulau Tidung, Kepulauan Seribu, 26 – 28 Februari lalu.

Selama di Pulau Tidung, saya sama sekali tidak melihat ada mobil, bus, angkot maupun AC, juga tidak tersambung dengan internet  dan handphone CDMA.

Yang ada di hadapan saya adalah lautan di sepanjang pulau, kapal-kapal nelayan, pohon kelapa, jalan setapak yang hanya bisa dilalui sepeda motor maupun onthel (Bahasa Jawa untuk sepeda), pasir putih, dan jembatan sepanjang 2 km di atas laut!

Kesederhanaan.

Itu yang saya lihat dari pulau yang berpenduduk sekitar 3 ribu KK ini. Masyarakatnya begitu ramah dan senang membantu. Di manapun di Pulau Tidung, mereka pasti akan menyapa kita atau at least memberikan seulas senyum. 

Oh ya, waktu saya sedang berkeliling pulau dengan bersepeda, nggak sengaja saya melihat jajanan di masa kecil saya dulu. Waktu saya masih berusia sekitar 7 - 8 tahun, saya sering banget membeli jajanan yang saya namakan 'kertas berhadiah’. Hadiahnya ditentukan oleh nomor di dalam gulungan kertas yang dibungkus plastik kecil. Hadiahnya bermacam-macam, bisa permen, makanan ringan ataupun piring dan gelas (kalau yang saya lihat, as showed on pic, malah ada asbak dan baki :D). I’ve never thought that I would see this kind of ‘jajanan’ after a very long time!. And I saw it again, in Tidung Island :).


Anyway, tinggal selama 3 hari di Pulau Tidung membuat saya jadi berfikir, segala peralatan modern terkadang memang membuat kita menjadi manja. Sedikit-sedikit mengeluh, mulai dari kepanasan tanpa AC, sinyal handphone lemah hingga rasa capek usai berjalan kaki.

Padahal, tanpa jaringan internet toh liburan di Pulau Tidung masih sangat mengasyikkan. Tak perlu mengecek email dan mengingat tentang pekerjaan ataupun aktivitas di Jakarta.  Tanpa mobil, udara menjadi sangat segar. Bersepeda ataupun berjalan kaki keliling pulau membuat badan terasa lebih sehat (capek, tidur lebih pulas, makan lebih banyak :D). Tanpa AC pun, tidur masih bisa nyenyak kok (meski panas :D).

Rasanya malu juga kemarin saya sempat mengeluh kepanasan dan kecapekan setelah lama berjalan kaki (3 kilo lebih bo :D), padahal baru 3 hari saya di sana. Bukankah itu merupakan hal yang harus dijalani oleh warga Pulau Tidung setiap hari?

Eh tapi saya tidak (berani) membayangkan juga sih bagaimana hidup tanpa jaringan internet lebih dari 1 bulan :p.

Dunia Hanya Selebar Daun Kelor


Terkadang, dunia memang tampak hanya selebar daun kelor.

----------------------------------------------

Ceritanya waktu saya ke Pulau Tidung (untuk keperluan apa silahkan baca post sebelumnya :D).

Malam sebelum berangkat saya menginap di tempat teman masa kecil saya, Vivi, di daerah Salemba. Lama tidak bertemu, saya dan Dik Vivi (kebiasaan saya dan dia di masa kecil adalah kita saling memanggil 'dik' satu sama lain, tidak peduli siapa yang lebih tua :p) mengobrol tentang banyak hal. Ketika saya menceritakan tujuan saya menginap di kos-nya karena saya akan pergi ke Pulau Tidung dan janjian untuk pergi bersama beberapa orang di waktu subuh, spontan dia menebak pasti untuk keperluan hunting foto.

Lho kok tahu?

Menurut Dik Vivi, salah satu teman kantornya di Depsos juga akan berangkat ke Pulau Tidung untuk ikut hunting foto. Temannya itu bernama Harry, orang yang janjian dengan saya untuk bertemu keesokan harinya.

Dunia hanya selebar daun kelor yang kedua waktu malam Minggu kemarin (27/2). Karena kegerahan di penginapan, saya tergoda untuk keluar merasakan semilirnya angin pantai di malam hari. Di pantai, saya bertemu dan mengobrol dengan beberapa teman lain yang juga sedang di pantai. Salah satunya adalah Mas Munir. Sebelumnya saya sudah tahu kalau Mas Munir berasal dari Muntilan –satu Kabupaten dengan saya- tapi hanya itu yang saya tahu. Setelah ngobrol ngalor-ngidul, baru lah kita tahu kalau saya dan Mas Munir mengenal 1 orang dan tempat yang sama di Yogyakarta sana.

Kebetulan yang ketiga adalah waktu saya akan menginvite salah satu teman dari rombongan di Pulau Tidung itu. Namanya Mas Dana. Waktu saya lihat profile pic-nya, ada comment dari Dinda, teman akrab saya semasa di Global Radio Bandung. Ternyata Mas Dana juga akrab dengan Dinda. Halah, betapa dunia ini memang sempit.

Bukan hanya sekali dua kali sih saya mengalami kejadian seperti ini. Dan momen-momen seperti itu selalu menyenangkan buat saya :).

Sebenarnya bukan hal yang aneh juga sih. Semakin banyak orang yang kita kenal dan semakin luas pergaulan kita, pasti akan semakin sering pula kita mengalami kejadian seperti ini.

So yuk ah, membuka diri untuk sebuah pertemanan, dengan teman-teman yang baik tentunya :).

Sunset di Pulau Tidung


Sejak kecil, saya selalu tergila-gila dengan salah satu ciptaan Tuhan yang bernama ‘Pantai’. Satu hal yang paling saya sukai dari pantai ialah pemandangan sunset-nya.

Sunrise sih boleh telat, tapi Sunset, jangan sampai deh :D.

Itulah sebabnya, begitu ditawari Mbak Rieska untuk join hunting foto di Pulau Tidung di Kepulauan Seribu, saya langsung daftar malam itu juga.

Meski pantai di Pulau Tidung tidak sama persis seperti dalam bayangan saya, namun pantainya cukup indah dan unik. Ada jembatan sepanjang 2 km di atas laut sebagai penghubung antara 2 bagian dari Pulau Tidung, Tidung Besar dan Tidung Kecil. Di jembatan inilah, menurut warga setempat, lokasi yang paling jelas untuk melihat sunrise dan sunset.

Berbeda dengan momen Sunset hari pertama yang tidak terlalu jelas karena tertutup mendung, Sunset di hari kedua sangat jelas, dan luar biasa cantik (ah rasanya saya tidak berlebihan bukan jika menggunakan kata ‘luar biasa’ untuk melukiskan keindahan sebuah pemandangan alam?)


Foto sunset diambil oleh teman saya, Adi Wicaksono. Adi, saya upload fotonya di sini ya :)

Cantik yah sunsetnya? 

And I was so amazed with that. Ini bukan sunset pertama yang saya lihat, tapi pemandangan Sunset selalu membuat saya terkagum-kagum. Mungkin saya berlebihan, tapi melihat matahari sedikit demi sedikit mulai terbenam dan akhirnya benar-benar terbenam merupakan sebuah hal yang selalu saja membuat saya terpesona. 

Tidak hanya sunset di pulau Tidung, tapi juga sunset di pantai-pantai lain.

That’s why, the beach will always be my top first holiday destination on my list, indeed! :)