Saturday, December 26, 2009

A Three-Year Old Girl with Her Unexpected Anger


Sewaktu menemani Dewi, teman baik saya sejak SMU, mencari-cari jam tangan di Blok M Square kemarin Jumat (25/12), ada pemandangan ‘menggelitik’ di depan saya.

Ada seorang ibu dan 2 anak perempuannya yang masih kecil-kecil, sekitar usia 5 dan 3 tahunan. Ibu itu asyik memilih-milih jam tangan, sementara anak-anaknya asyik berantem. Berantem? Yup, dari mulai berebutan permen, air minum, melihat jam di etalase toko, hingga berantem karena berebut cermin dan tempat duduk. Dari ke dua anak perempuan itu, terlihat jelas jika si adik yang begitu mendominasi dan jauh lebih pemarah (aduh dik masih kecil jangan suka marah-marah, nanti cepat tua loh :D).

Puncaknya, ketika kakak beradik itu saling berebut tempat duduk hingga membuat si adik jatuh dan kepalanya membentur meja etalase jam toko. Saya pikir anak itu cuma akan menangis atau mengadu ke Ibunya, ternyata apa yang dilakukan oleh anak itu untuk melampiaskan kekesalannya sungguh di luar dugaan saya.

Anak itu, sembari berkacak pinggang, marah-marah pada kakaknya dengan gaya bicaranya yang masih terpatah-patah namun terdengar jelas. Dari mulai mengatakan ‘lo anak setan’, ‘anak tuyul’, ‘gue nggak mau jadi adik lo lagi’, ‘dasar bego lo’, dan masih banyak lagi makian lain yang diucapkan anak perempuan berumur sekitar 3 tahunan itu untuk kakaknya.

Tidak hanya saya yang terkesima mendengar kata-kata anak itu, tapi juga Dewi, mas-mas pemilik toko jam, hingga beberapa orang yang kebetulan lewat. Anak itu begitu fasih memaki-maki kakaknya yang hanya terdiam mendengar ucapan si adik. Akan halnya Ibu mereka, hanya berkomentar pendek, “Adik jangan nakal ya, besok kalau Mama jalan-jalan adik di rumah saja sama Bibik,” sambil tetap memilih beberapa jam tangan dan mencobanya.

Setelah Dewi selesai dengan urusan pembelian jam-nya, kami segera meninggalkan toko tersebut sembari membicarakan tingkah anak itu. Ternyata Dewi pun juga merasakan kekagetan yang sama, meski dia tetap sibuk dengan pilihan jam-jam yang ingin dibelinya :D.

Saya masih tidak habis pikir, bagaimana dan darimana anak seusia itu bisa mendapatkan kata-kata yang diucapkannya. Saya juga tidak mengerti dengan reaksi dan sikap Ibu dari anak itu, yang bagi saya terlalu datar untuk merespon kata-kata yang belum pantas dari anaknya.

Saya tidak bermaksud menyalahkan anak tersebut. Untuk anak seusia dia bisa berkata-kata seperti itu tentunya karena dia mendengar dari sumber lain. Saya juga tidak ingin menyalahkan Ibunya, karena tiap Ibu pasti memiliki cara sendiri untuk mendidik anak-anaknya.

Saya cuma kaget saja, baru pertama kali inilah saya melihat dan mendengar ada anak kecil bisa begitu lancar menguraikan kemarahannya dengan kata-kata seperti itu. Ataukah sebenarnya hal ini merupakan sebuah hal yang biasa saja saat ini, dan saya lah yang ketinggalan jaman sehingga baru melihat hal seperti ini sekarang?   

Sunday, December 20, 2009

A Touching Moment


Sore ini, sewaktu mau turun dari bis sepulang dari ber-weekend di Bandung, ada pemandangan tidak biasa di depan saya. Awalnya saya heran plus agak kesel, kok ibu di depan saya cuma berdiri saja di depan bangku penumpang dan tidak segera turun sehingga menahan orang-orang dibelakangnya untuk turun. Agak lama, sekitar 3 menitan lebih (3 menit lumayan lama lho buat orang yang sudah capek, ngantuk dan ingin cepat-cepat turun dari bis :D).

Ternyata si Ibu tersebut menunggu suaminya yang sudah menunggu di shelter bis untuk naik dulu ke dalam bis dan menggendong putra mereka. Waktu saya lihat si Bapak - suami ibu tersebut- mengangkat putranya, barulah saya menyadari apa yang membuat si Ibu berdiri di dalam bus dan tidak turun-turun.

Ibu itu membawa 1 buah tas yang besar dan berat (terlihat dari isinya yang penuh dengan pakaian dan perlengkapan bayi). Sedangkan putra mereka, seorang anak laki-laki berusia sekitar 4 tahunan, (sepertinya) memiliki kekurangan fisik. Tubuhnya begitu kurus dan lunglai saat digendong ayahnya. Wajahnya sama sekali tak menunjukkan reaksi apapun layaknya anak usia tersebut.

Saya turun dari bis persis di belakang mereka. Waktu mereka menuju mobilnya yang diparkir di depan shelter bis, saya melihat si Bapak terus menciumi pipi dan kening anaknya. Sang ibu berjalan di belakangnya sambil mengangkat tas dan sesekali membelai kepala anaknya.

Begitu sampai di mobil, mereka terlihat bahu membahu agar putranya bisa masuk ke dalam mobil. Ibu itu menaruh tasnya, kemudian membukakan pintu untuk si Bapak yang lantas berusaha memasukkan putranya ke dalam jok mobil. Begitu si anak ada didalam mobil, entah duduk atau berbaring saya kurang tahu pasti, bapak dan ibu itu terlihat masih mengajak bercanda dan melempar senyum ke anaknya sebelum menutup pintu dan mereka sendiri juga masuk ke dalam mobil.

Duh, tersentuh saya melihatnya. Betapa tiap orang tua mempunyai kasih sayang yang begitu luas untuk anaknya, tak peduli bagaimanapun kondisi anaknya.

By seeing that touching moment, tiba-tiba saya jadi teramat kangen dengan ke dua orang tua saya.

Thursday, December 17, 2009

Pernik Perempuan

Hari ini salah seorang rekan kerja yang baru menikah bercerita ke saya : 

Istri saya waktu saya bilang gendut jadi marah – marah gitu Mbak... 

Ya iyalah, umumnya perempuan pasti akan gondok atau at least menjadi tidak ’pede’ kalau kekurangan dalam diri ataupun penampilannya dikritik oleh pasangannya.  

Ada satu cerita lagi dari teman saya yang membuat saya terpana, untuk selanjutnya tertawa loudly :D 

Pacar gw lagi ngambek Mir. Kemarin dia abis dari salon, gw tanya ’kamu mau ngelenong di mana dandan kayak gitu?’. Eh ngambek dia. 

Halah, tambah parah! 

Bagi sebagian perempuan, fisik dan penampilan terkadang menjadi masalah yang begitu sensitif. Bad hair yang bisa membuat mood kacau seharian, dibilang orang kegendutan membuat  nafsu makan jadi hilang ataupun masalah jerawat yang bisa menghilangkan rasa pede untuk ketemu banyak orang (hoho, pengalaman pribadi ini mah :D). Juga beragam masalah khas perempuan lainnya lagi yang mungkin bukan menjadi masalah buat para pria. 

Nah, this is the point. Karena pria dan perempuan memang berbeda. Apa yang tampak begitu ribet untuk perempuan, terkadang bisa jadi begitu simpel untuk pria.  

Makanya hampir tiap perempuan mempunyai peralatan make-up untuk mempercantik diri. Makanya salon, klinik maupun dokter kecantikan banyak didatangi banyak perempuan untuk merawat diri. Makanya juga banyak tips-tips bagaimana cara menutupi kelemahan dari penampilan perempuan, biar yang gendut tidak kelihatan gendut atau justru yang kurus bisa kelihatan lebih berisi. 

Semua itu ada dan dilakukan karena pada dasarnya hampir tiap perempuan ingin tampil cantik. Ingin dilihat cantik. Setidaknya di depan pasangan sendiri. 

Karena itulah, yuk ah mari hargai pasangan kita masing-masing. Kalau memang pasangan kita gendut, mbok ya kalau mau bilang dia gendut jangan terlalu to the point. Kan bisa sambil bercanda atau menggunakan kata lain selain gendut, berisi mungkin :-). Nggak ada salahnya juga untuk memberikan pujian ketika pasangan kita berdandan lain dari biasanya, entah berdandan untuk sekedar bertemu kita atau untuk pergi dengan kita. 

Jika ada sesuatu hal yang salah dengan penampilan si dia hari itu, tunggulah sejenak sebelum menyampaikannya ke yang bersangkutan (jangan langsung bilang di tempat pas pertama ketemu, gituh maksudnya :p), agar pasangan pun bisa menerima dengan baik. Biar besok dia nggak berpenampilan seperti itu lagi. Biar nggak ada acara ngambek-ngambekan juga :D

Well, itulah sedikit pernik perempuan, penuh warna :D. 


Sunday, December 13, 2009

Weekend Intermezzo


Ada sebuah intermezzo menarik di salah satu televisi swasta pagi ini. Tentang penggunaan uang 6,7 triliun.

Dalam tayangan intermezzo tersebut, uang sebesar 6,7 triliun diasumsikan bisa digunakan untuk membiayai lebih dari :

-       150 ribu mahasiswa untuk menjadi dokter
-       500 ribu siswa sekolah
-       190 ribu orang untuk menunaikan ibadah haji

Atau membeli lebih dari :

-     700 megawatt listrik supaya listrik nggak padam-padam lagi
-     900 juta kilogram beras
-     134 ribu rumah sederhana
-     26 milyar kerupuk (wowow :D)

Atau juga untuk memberi :

-     35 juta orang uang senilai Rp 191.429 rupiah
-     250 juta orang uang senilai Rp 26.800 rupiah

Sehabis melihat tayangan itu, melintas juga sebuah intermezzo dalam pikiran saya. Jika koin untuk mendukung Bu Prita Mulyasari (bravo Bu Prita!) senilai Rp 151 juta saja jika ditimbang beratnya sudah mencapai lebih dari 6 ton, kira-kira akan seberat apa ya kalau uang 6,7 triliun tersebut dikoin-kan? :-)

Dan jika seluruh koin senilai 6,7 triliun itu disebar ke seluruh Indonesia, wah hujan uang pasti akan terjadi di mana-mana :D.

Saturday, December 12, 2009

Magnet Jogja

-it was actually written on Nov, 28th 2009-

Jogja itu bermagnet. Selalu menarik setiap orang yang pernah tinggal di sana untuk kembali, meskipun hanya sekedar ‘tuk singgah sejenak.

-------------------------------------------------------

Setelah beberapa kali hanya numpang lewat di Yogya tiap pulang ke rumah, akhirnya bisa juga saya jalan-jalan sampai puas di Yogya. Seharian, dari pagi sampai menjelang maghrib. Tapi setengah harinya habis untuk jalan-jalan di Malioboro dan berburu batik di Bringharjo (hahaha, teteup!), habis murah sih :-).

Yogya kini banyak berubah. Beberapa ruas jalan yang dulunya masih berupa jalan kecil kini sudah diperbesar, bahkan ada yang dijadikan perempatan lengkap dengan bangjo-nya (sebutan untuk traffic light, kependekan dari abang – ijo dalam bahasa Jawa :D). Perubahan tersebut mungkin karena semakin membludag-nya jumlah pengguna sepeda motor di Yogya, I guess.

Jumlah ruko-nya semakin banyak. FO, butik, rental film, ataupun warnet sepertinya kian menjamur. Di sepanjang jalan Malioboro sekarang juga dipenuhi dengan beragam graffiti yang menarik.




Or for closer :



Oh ya, ada lagi. Sekarang Yogya punya Trans Yogya. Seperti Bus Way kalau di Jakarta, tapi ukurannya lebih kecil. Jumlah armadanya mungkin belum sebanyak Bus Way, namun sistem Trans Jogja lebih kurang sama dengan Bus Way. Tapi saya lupa euy harga tiketnya berapa, hehe :). Pas jalan-jalan di Malioboro, iseng saya foto salah satu bus Trans Jogja yang sedang berhenti, persis di depan shelternya. Take a look.
 


Banyak yang berubah dari Yogya, tapi banyak juga yang tidak (atau belum?) berubah. Harga makanannya masih standar mahasiswa alias murah meriah tapi uenak. Panasnya belum berkurang (meski tidak sepanas cuaca di kota tempat tinggal saya sekarang :D). Pengendara sepeda onthel juga masih bisa dilihat di jalan raya. Suasananya yang khas sebagai kota budaya dan pendidikan masih sangat terasa.  Di banyak tempat di Yogya, terutama di daerah sekitar Boulevard UGM, Jl. Kaliurang, Condong Catur, ataupun Seturan, selalu saja saya bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa yang masih begitu muda :p. Dari beragam suku dan budaya, pas dengan sebutan Yogyakarta sebagai Indonesia mini.

In short, masih bersuasana Yogya yang berhati nyaman.

Seharian jalan-jalan di Yogya membuat rasa kangen saya pada kota ini sedikit terobati. Jogja memang ngangenin. Terutama suasana di malam hari dengan warung makan lesehannya. Ketika masih tinggal di Yogya, makan malam lesehan bersama teman-teman saya anggap sebagai sebuah hal biasa, tak ada yang istimewa. But after I had left Yogya, I just realized that it was a precious moments. Unforgettable. Dan sampai saat ini suasana seperti itu belum saya temukan di kota lain selain Yogya.

Sehari di Yogya memang tidak cukup. Masih banyak tempat menarik lainnya yang sebenarnya ingin sekali saya kunjungi, namun sayang waktunya yang nggak ada. I promise myself then to go back there for holiday again one day, entah kapan :)

Yogyakarta, sering juga disebut dengan Jogja, Jogya, Ngayogyakarta, atau bagi sebagian orang Jawa disebut dengan nama Yodjo, memang kota yang akan selalu membuat rindu siapapun yang pernah tinggal di sana.

Thursday, December 10, 2009

Adil atau Tidak Adil


Di salah satu televisi swasta kemarin ada tayangan yang cukup menarik, mengenai beberapa warga negara yang mendapatkan hukuman akibat perbuatan yang ‘mengundang tanya’, kenapa hal tersebut bisa menjadi kasus pidana.

Ada kasus Bu Minah yang terkena pidana 1 bulan 15 hari akibat mengambil 3 biji kakao seharga Rp 2100. Ada juga kisah pengambilan sebutir semangka di Kediri yang membuat orang yang mengambilnya sempat ditahan 2 bulan di penjara dan bahkan mengalami penganiayaan. Di tempat lain ada berita tentang satu keluarga sedang dipidanakan akibat diduga mengambil randu seharga lebih kurang 12 ribu rupiah. Dan beberapa kisah lain yang serupa.

Dari perspektif hukum, yang salah itu memang harus diberi hukuman yang setimpal. Benda sekecil ataupun semurah apapun, selama itu merupakan milik orang lain memang tidak sepatutnya kita ambil. Andai kita ambil, memang sudah sewajarnya kita dapat hukuman.

Tapi, masalahnya adalah, bagaimana dengan kasus pengambilan dana (atau perampokan?) bermilyar hingga bertriliun rupiah milik Negara oleh beberapa oknum yang hingga kini belum tersentuh hukum?

Huff, what can I say?

Saya memang bukan seorang lulusan di bidang hukum. Saya juga bukan orang yang berkecimpung di bidang hukum. Tapi saya peduli. Saya tahu bahwa sekecil apapun barang orang yang kita ambil, kita selayaknya mendapat hukuman. Tapi kalau yang mengambil barang milik orang dalam nilai yang tidak terhitung berapa kali lipat dari barang yang kita ambil saking banyaknya, tapi masih bisa melenggang bebas tanpa mendapat hukuman – andai mendapat hukuman pun dalam waktu yang tidak lama - apakah itu bisa disebut sebagai sebuah keadilan?

Kok saya kedengarannya jadi sinis gini yah?

Habis, saya cuma tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya negeri ini dalam 10 atau 15 tahun ke depan jika sistem peradilan negeri ini tidak berubah.

Monday, December 7, 2009

Adaptasi


When in Rome, do as the Romans do.

*********************

Hidup (salah satunya) adalah bagaimana kita beradaptasi. How we can cope with every single different thing from us with other people and environment surround.

We need to adapt. Di sekolah, di bangku kuliah, di kos, di perusahaan di mana kita kerja, di daerah kita tinggal, di manapun kita berada dan bersosialisasi. We need to adapt, dengan teman sekolah ataupun masa kuliah, kekasih, sepupu, rekan kerja, kolega, maupun boss kita.

Bukan untuk merubah diri kita menjadi seseorang yang lain. Namun untuk mencapai sebuah keharmonisan dan keselarasan dengan orang lain dan lingkungan sekitar kita. Karena kita tidak tinggal sendiri. Kita makhluk sosial yang senantiasa membutuhkan orang lain dalam hidup.

Nah loh, lalu kenapa masih saja ada orang yang selalu dijadikan bahan omongan di satu tempat?

Karena mereka tidak mau beradaptasi. Tidak mau menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana mereka tinggal.

Kalau lingkungan sekitar kita orangnya ramah-ramah dan murah senyum, apa salahnya sih kita juga memberi senyum pada tiap orang yang kita temui, bukankah senyum itu juga adalah ibadah? Ketika sedang berada dalam suasana kerja yang formal, bukankah seharusnya kita juga ikut menyesuaikan diri dengan memakai baju kerja yang formal, dan bukannya malah memakai baju yang dapat membuat orang justru memiliki pandangan yang berbeda tentang pekerjaan maupun diri kita. Jika orang-orang di sekitar kita tidak suka mendengarkan musik yang terlalu keras, mbok ya ngedengerin musiknya juga jangan terlalu kenceng.

Ada banyak hal yang membutuhkan adaptasi. Ada banyak cara juga untuk beradaptasi. Adaptasi membuat kita bisa hidup harmonis dengan yang lain tanpa meninggalkan identitas kita yang sebenarnya. Adaptasi itu mudah, sepanjang kita mau melakukannya dan belajar untuk melakukannya.

So, apa sih sebenarnya kendala beradaptasi? Kok ya masih saja ada orang yang digosipin atau bahkan dipanggil public enemy karena faktor sikap mereka yang ngeselin? Hohoho, unfortunately saya sendiri nggak bisa jawab. Soalnya saya bukan seorang public enemy sih, dan tidak pernah berniat untuk menjadi seorang public enemy!


-----------------------------------------------------------

I wrote this passage after hearing my friend’s complain about the attitude of a person whom called as public enemy in her office. One interesting sentence I got from this friend to show her resentment was : it would not be a matter if she lived by herself in a forest with her attitude that never could adapt with the others!

Wednesday, December 2, 2009

Cerita Keberhasilan dari Teman


Minggu lalu ada salah satu teman dekat saya menelpon, mengabarkan kalau dirinya diterima di sebuah Departemen. Terdengar jelas ada nada bahagia dalam suaranya. Dan saya ikut bahagia mendengarnya.

Hari ini, salah seorang teman yang dekat dengan saya secara pekerjaan (hooh :D) juga memberi kabar kalau dirinya diterima sebagai CPNS di Pemda ibukota negeri tercinta ini. Tampak jelas kebahagiaan di raut mukanya. Dan saya, ikut merasakan kegembiraannya.

Selama setahun terakhir ini, saya banyak melewatkan berbagai aktivitas dengan ke dua teman tadi. Berbagi pekerjaan, bertukar pikiran, makan bareng, sharing ide, bahkan terkadang curhat masalah pribadi. Dari kebersamaan itu saya jadi tahu bagaimana pandangan dan pemikiran mereka mengenai hidup, termasuk juga tentang arti sebuah pekerjaan.

Hingga, mereka mengabarkan keberhasilan mereka dalam seleksi yang mereka ikuti.

Satu pelajaran yang saya dapat dari mereka. Keberhasilan terjadi karena ada usaha dan kesempatan. Ada usaha tapi tanpa kesempatan means that we have to find another chance to make an effort to win. Ada kesempatan tapi belum ada usaha means that we have to change our mindset from ‘do not want to take this chance right now’  to ‘yes, we have to take this chance wisely right now as if there would be no another chance anymore in the next day’.

Banyak kesempatan di sekitar kita, tapi hanya yang mau berusaha untuk memanfaatkan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya lah yang akan berhasil. And both of my friends just proved it.

Tuesday, December 1, 2009

Tentang Blackberry


Kok lo nggak pake Blackberry aja sih Mir?

Tanya seorang teman waktu melihat handphone saya beberapa waktu lalu.

Gantian saya yang balik bertanya ke teman saya :

Wajib gitu pake Blackberry? :D

---------------------------------------------------------------------------

Yup, demam Blackberry sedang mewabah. Di kantor, mall, bis, kereta, stasiun, ada aja yang lagi pegang Blackberry. Sedang makan, mengetik di komputer, antre bayar barang di kasir, sampai lagi ngipasin ayam bakar (ini khusus tentang penjual ayam bakar di dekat kantor saya :p) masih saja sambil menggenggam BB. Ke toilet ataupun akan beribadah, BB tetap dibawa. Sedang mengobrol, menyetir, bertemu dengan teman-teman lama, atau ketika sedang menonton televisi, mata masih saja melirik ke BB.

Kok saya jadi keliatannya mengamati banget ya para pengguna BB di sekitar saya? Hehe :)

Kalau sampai sekarang saya belum (ingin) memakai Blackberry, setidaknya karena saya :

1.     Belum merasa perlu untuk mengecek dan atau mengirim email setiap waktu (kecuali nanti ya kalau saya sudah menjadi penulis sukses, seorang bos, atau wanita karir beneran yang butuh koneksi internet setiap saat, haha);
2.     Bosan kalau online di ym, g-talk atau windows live messenger terlalu lama;
3.     Tidak terlalu suka meng-update status saya di facebook ataupun twitter setiap waktu dan berlama-lama mantengin dua jejaring sosial tersebut;
4.     Sudah punya modem di kos yang siap dicolok kapanpun (kasihan tar si modem mubazir lagi :p); dan
5.     Masih merasa bahwa life still goes on even without BB, and am still alive without it :D

Eh, tapi saya nggak bilang lho kalau saya tidak suka BB. Saya juga nggak bilang kalau saya tidak mau menggunakan BB.  Saya kadang cuma merasa gemes aja kalau melihat teman atau orang yang hanya sibuk dengan BB-nya dan seolah-olah tidak peduli dengan hal lain. Seolah-olah yang lain tidak ada. 

Well, anyhow it’s about everyone option. Ini tergantung juga dari kebutuhan tiap orang. BB bisa jadi begitu penting ketika sedang berada di luar kantor atau bepergian jauh, padahal ada pekerjaan yang harus diselesaikan secepatnya. BB bisa jadi merupakan alat komunikasi yang sangat berguna bagi orang yang pekerjaannya membutuhkan koneksi internet setiap saat.

Nah, berhubung secara kebutuhan saya merasa belum perlu menggunakan BB, dan saya pikir BB masih terlalu mahal kalau hanya digunakan untuk gaya-gayaan, makanya saya belum memakai Blackberry (meski pernah juga saya berandai-andai kalau saya punya BB mungkin saya tidak akan tersiksa dalam setiap kemacetan). Well, setidaknya untuk saat ini :D.

Oh ya balik lagi ke alasan kenapa saya belum memakai Blackberry tadi, ada satu yang terlewat. Alasan no 6 : soalnya uang saya sekarang ini juga belum cukup untuk beli BB, hahaha… :).